Press Release Telapak; 20 Juta hektar Rencana Perluasan Perkebunan Papua Mengancam Kesejahteraan Masyarakat lokal, Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim
Bogor 12 November 2009
Bertempat hotel Cemara Jakarta pada hari Rabu 10 November 2009, Telapak sebuah organisasi lingkungan Indonesia bersama dengan EIA (enviroment investigasi Agency) mengeluarkan laporan investigasi yang mengejutkan tentang kondisi perkebunan sawit di Papua berjudul "Up For Grabs". Laporan ini memperlihatkan pemerintah Indonesia bermaksud untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit di Papua dari enam juta hektar menjadi 20 juta hektar, hal ini menurut Telapak/ EIA mengancam kesejahteraan masyarakat Papua,kerusakan hutan yang semakin membuat cepatnya proses perubahan iklim.
Laporan tersebut menunjukan betapa masyarakat lokal Papua dibohongi oleh perusahaan-perusahaan besar perkebunan dengan membujuk dan membayar sewa tanah dengan harga sewa pengelolaan tanah terendah dan tertinggi berkisar antara Rp 15.000 sampai dengan Rp 450.000 per hektar untuk sewa selama 35 tahun.
Masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan sawit ini ke Papua disebabkan karena tingginya permintaan biofuel dari tandan buah sawit untuk pasar dalam negeri, sehingga pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang perkebunan bahwa setiap satu perusahaan perkebunan dapat meningkatkan luas wilayah perkebunan dari 20.000 hektar menjadi 100.000 hektar.
Pemerintah Indonesia menyarankan perluasan perkebunan tanaman kelapa sawit dilakukan di Papua. Hal ini diperkuat pada tahun 2008 Direktur Jendral Tanaman Perkebunan Kementrian Pertanian Indonesia menyatakan, setelah pulau Sumatra dan Kalimantan yang telah padat dengan tanaman perkebunan sawit, hanya di Papua lahan yang masih tersedia untuk ditanami sawit.
Rencana perluasan perkebunan dan penanaman sawit besar-besaran di Papua akan merusak keanekaragaman hayati wilayah Papua. Perubahan fungsi lahan dari yang tadinya hutan dengan berbagai macam tanaman dan bentuk kehidupan berubah ke lingkungan memiliki tanaman sejenis, yaitu kelapa sawit. Perubahan fungsi lahan ini biasanya diawali dengan pembukaan lahan (land clearing) dengan membakar lahan. Pembakaran lahan untuk perluasan wilayah perkebunan sawit menambah jumlah emisi karbon yang cenderung memicu perubahan iklim secara cepat.
Kemunduran kualitas dan kekayaan alam Indonesia ikut dipicu oleh perluasan-perluasan perkebunan besar sawit yang berusaha memenuhi kebutuhan biofuel pasar dalam negeri. Telapak/EIA meminta kepada semua pihak yang terkait; terutama kepada pemerintah Indonesia untuk melihat kembali kebijakan perluasan penanaman perkebunan sawit di Papua dan memastikan ada sitem keadilan yang jelas baik proses negoisasi dan kompensasi serta terjadinya transparasi antara perusahaan dangan masyarakat lokal serta publik masyarakat Indonesia.
Selain itu Telapak/ EIA meminta masyarakat internasional memastikan tidak ada insentif untuk kegiatan konversi hutan untuk pengembangan biofuel dan perkebunan lain dan memastikan skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) untuk menjamin kepastian akan hak-hak masyarakat pribumi khususnya Papua.
Telapak/ EIA meminta kepada perusahaan-perusahaan untuk menghindari membeli minyak kelapa sawit atau komoditas lainnya dari Papua sampai terdapat transparasi komprehensif yang jelas dari review dampak sosial dan dampak lingkungan dari komoditas pertanian berasal dari Papua. Telapak/EIA menginginkan isu ini diagendakan pada KTT Perubahan Iklim (COP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 (Ejh, et al).
Bertempat hotel Cemara Jakarta pada hari Rabu 10 November 2009, Telapak sebuah organisasi lingkungan Indonesia bersama dengan EIA (enviroment investigasi Agency) mengeluarkan laporan investigasi yang mengejutkan tentang kondisi perkebunan sawit di Papua berjudul "Up For Grabs". Laporan ini memperlihatkan pemerintah Indonesia bermaksud untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit di Papua dari enam juta hektar menjadi 20 juta hektar, hal ini menurut Telapak/ EIA mengancam kesejahteraan masyarakat Papua,kerusakan hutan yang semakin membuat cepatnya proses perubahan iklim.
Laporan tersebut menunjukan betapa masyarakat lokal Papua dibohongi oleh perusahaan-perusahaan besar perkebunan dengan membujuk dan membayar sewa tanah dengan harga sewa pengelolaan tanah terendah dan tertinggi berkisar antara Rp 15.000 sampai dengan Rp 450.000 per hektar untuk sewa selama 35 tahun.
Masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan sawit ini ke Papua disebabkan karena tingginya permintaan biofuel dari tandan buah sawit untuk pasar dalam negeri, sehingga pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang perkebunan bahwa setiap satu perusahaan perkebunan dapat meningkatkan luas wilayah perkebunan dari 20.000 hektar menjadi 100.000 hektar.
Pemerintah Indonesia menyarankan perluasan perkebunan tanaman kelapa sawit dilakukan di Papua. Hal ini diperkuat pada tahun 2008 Direktur Jendral Tanaman Perkebunan Kementrian Pertanian Indonesia menyatakan, setelah pulau Sumatra dan Kalimantan yang telah padat dengan tanaman perkebunan sawit, hanya di Papua lahan yang masih tersedia untuk ditanami sawit.
Rencana perluasan perkebunan dan penanaman sawit besar-besaran di Papua akan merusak keanekaragaman hayati wilayah Papua. Perubahan fungsi lahan dari yang tadinya hutan dengan berbagai macam tanaman dan bentuk kehidupan berubah ke lingkungan memiliki tanaman sejenis, yaitu kelapa sawit. Perubahan fungsi lahan ini biasanya diawali dengan pembukaan lahan (land clearing) dengan membakar lahan. Pembakaran lahan untuk perluasan wilayah perkebunan sawit menambah jumlah emisi karbon yang cenderung memicu perubahan iklim secara cepat.
Kemunduran kualitas dan kekayaan alam Indonesia ikut dipicu oleh perluasan-perluasan perkebunan besar sawit yang berusaha memenuhi kebutuhan biofuel pasar dalam negeri. Telapak/EIA meminta kepada semua pihak yang terkait; terutama kepada pemerintah Indonesia untuk melihat kembali kebijakan perluasan penanaman perkebunan sawit di Papua dan memastikan ada sitem keadilan yang jelas baik proses negoisasi dan kompensasi serta terjadinya transparasi antara perusahaan dangan masyarakat lokal serta publik masyarakat Indonesia.
Selain itu Telapak/ EIA meminta masyarakat internasional memastikan tidak ada insentif untuk kegiatan konversi hutan untuk pengembangan biofuel dan perkebunan lain dan memastikan skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) untuk menjamin kepastian akan hak-hak masyarakat pribumi khususnya Papua.
Telapak/ EIA meminta kepada perusahaan-perusahaan untuk menghindari membeli minyak kelapa sawit atau komoditas lainnya dari Papua sampai terdapat transparasi komprehensif yang jelas dari review dampak sosial dan dampak lingkungan dari komoditas pertanian berasal dari Papua. Telapak/EIA menginginkan isu ini diagendakan pada KTT Perubahan Iklim (COP) ke-15 di Kopenhagen, Denmark, pada Desember 2009 (Ejh, et al).
Tautan halaman ini.
1 komentar:
35 tahun itu kan usia produktif tanaman sawit yaa? trus abis 35 tahun pemilik lahan cuma dapat sisa sisa bonggol pohon sawit donk???
Posting Komentar