Pantau Legalitas Kayu, JPIK Ajukan Perbaikan Sistem
Sempur|Kotahujan.com-Selama 3 hari, dari Jumat (01/07) sampai Minggu (03/07) kemarin, Jaringan Pemantau Independen Kehutana (JPIK) menyelenggarakan Workshop Review Pelaksanaan Penilaiaan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) Berdasarkan Temuan dari Kegiatan Pemantauan. Workshop berlangsung di Sempur Park Hotel kota Bogor, diikuti 40 peserta, membahas hasil pemantauan yang dilakukan di lapangan terkait dengan Peraturan Menteri Kehutanan (PERMENHUT) 38 tahun 2009.
"Saat ini telah berkumpul sekitar 40 peserta dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua, dimana teman-teman di setiap daerahnya coba mengikuti implementasi peraturan P 38 terkait PHPL dan VLK di Indonesia. Dari temuan yang terjadi di lapangan kita coba meng-evaluasi sebenarnya dari sistem yang ada ini. Apa saja kekurangannya dan apa saja yang perlu dimasukkan terkait dengan pemantauan," ujar Abu Meridian, Dinamisator JPIK.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dibuat untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber legal yang dapat diverifikasi.
Pemerintah Indonesia mengadopsi SVLK pada tahun 2010, pelaksanaannya dimulai pada bulan September 2010 termasuk didalamnya bagian dari Penilaiaan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK PHPL). Namun pada pelaksanaannya di lapangan, JPIK menemukan beberapa permasalahan yang harus dibenahi dalam sistem tersebut.
"Berbagai pengalaman kita peroleh, pertama misalnya keberadaan pemantau independen yang tidak terlalu mendapat tempat dalam sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari akses terhadap dokumen atau informasi yang terkait dengan sertifikasi. Kemudian akses terhadap lokasi sertifikasi dan akses terhadap proses sertifikasi. Hal lainnya adalah terjadi keterlambatan informasi atas pengumuman proses sertifikasi implementasi sampai ke laporan. Salah satu contoh misalnya, kami di Riau melakukan dua kali pemantauan terhadap dua perusahaan, kita mengetahui sertifikatnya keluar dua bulan setelahnya, yang lainnya satu bulan setelahnya. Jadi informasinya tidak real time" ungkap Zainuri Hasyim, JPIK Riau.
Berbagai permasalahan tersebut akan disampaikan kepada pembuat kebijakan, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Mereka yang berwenang akan merevisi PERMENHUT 38 tanggal 5-7 Juli di Jakarta. Peserta worksop ini melibatkan berbagai pihak di beberapa daerah di Indonesia.
"Peserta terdiri dari dua kelompok, satu temen-teman NGO yang concern terhadap isu kehutanan, isu sertifikasi. Tentunya dalam hal ini JPIK. Kemudian yang kedua dari masyarakat, ada masyarakat adat, ada masyarakat sekitar konsesi yang dalam keseharian mereka berdekatan ataupun terkena dampak operasional dari perusahan yang akan melakukan atau sedang melakukan sertifikasi,"tambahnya kemudian.
"Saat ini telah berkumpul sekitar 40 peserta dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua, dimana teman-teman di setiap daerahnya coba mengikuti implementasi peraturan P 38 terkait PHPL dan VLK di Indonesia. Dari temuan yang terjadi di lapangan kita coba meng-evaluasi sebenarnya dari sistem yang ada ini. Apa saja kekurangannya dan apa saja yang perlu dimasukkan terkait dengan pemantauan," ujar Abu Meridian, Dinamisator JPIK.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dibuat untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber legal yang dapat diverifikasi.
Pemerintah Indonesia mengadopsi SVLK pada tahun 2010, pelaksanaannya dimulai pada bulan September 2010 termasuk didalamnya bagian dari Penilaiaan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK PHPL). Namun pada pelaksanaannya di lapangan, JPIK menemukan beberapa permasalahan yang harus dibenahi dalam sistem tersebut.
"Berbagai pengalaman kita peroleh, pertama misalnya keberadaan pemantau independen yang tidak terlalu mendapat tempat dalam sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari akses terhadap dokumen atau informasi yang terkait dengan sertifikasi. Kemudian akses terhadap lokasi sertifikasi dan akses terhadap proses sertifikasi. Hal lainnya adalah terjadi keterlambatan informasi atas pengumuman proses sertifikasi implementasi sampai ke laporan. Salah satu contoh misalnya, kami di Riau melakukan dua kali pemantauan terhadap dua perusahaan, kita mengetahui sertifikatnya keluar dua bulan setelahnya, yang lainnya satu bulan setelahnya. Jadi informasinya tidak real time" ungkap Zainuri Hasyim, JPIK Riau.
Berbagai permasalahan tersebut akan disampaikan kepada pembuat kebijakan, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Mereka yang berwenang akan merevisi PERMENHUT 38 tanggal 5-7 Juli di Jakarta. Peserta worksop ini melibatkan berbagai pihak di beberapa daerah di Indonesia.
"Peserta terdiri dari dua kelompok, satu temen-teman NGO yang concern terhadap isu kehutanan, isu sertifikasi. Tentunya dalam hal ini JPIK. Kemudian yang kedua dari masyarakat, ada masyarakat adat, ada masyarakat sekitar konsesi yang dalam keseharian mereka berdekatan ataupun terkena dampak operasional dari perusahan yang akan melakukan atau sedang melakukan sertifikasi,"tambahnya kemudian.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar