Privatisasi Air, Kerjasama Tak Untungkan Masyarakat
Jakarta|Kotahujan.com-Persoalan air yang membelit warga negara Indonesia tak semata pada isu kekeringan dan semakin langkanya ketersediaan air. Tapi penguasaan air bukan oleh negara (perusahaan) justru menjadi topik hangat yang dibicarakan. Mulai dari pelayanan, kualitas air sampai pada persoalan tagihan air yang tak adil. Jakarta bisa menjadi bukti potret pengelolaan air bersih yang berujung pada privatisasi, yang tadinya milik umum menjadi milik swasta. Sebuah diskusi 'Membongkar Mafia Air Jakarta' di LBH Jakarta menguak bahwa sejak 13 tahun lalu, Jakarta terikat kontrak kerjasama konsesi 25 tahun antara PAM DKI Jaya dengan dua operator swasta, PT PAM Lyonnaise JAYA (Palyja) dan PT AETRA. PT PAM Jaya ternyata menderita kerugian akibat kontrak kerjasama ini.
“Air di Jakarta sudah diprivatisasi oleh dua perusahaan asing dari Perancis dan pengelolaan air dimonopoli oleh dua perusahaan itu dan PAM hanya sebagai regulator,” papar Algiffari Aksa dari LBH.
Menurutnya untuk tahun 2010 saja PAM memiliki hutang 586 M, sedangkan Palyja untung 285 M (diluar Pajak), AETRA 195 M. PAM sendiri justru merugi 80 M.
Perubahan ini seperti memenuhi agenda tuntutan bahwa Manajemen Sumber Daya Air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis”. Maka sah-lah partisipasi swasta dalam penyediaan air untuk menghasilkan hasil yang effisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan.
Dalam presentasi diskusinya, Nila Ardhianie dari AMRTA Institute mengungkap data dan fakta monopoli dua perusahaan asing tersebut. Ada indikasi potensi kerugian negara sampai 18 T. Kondisi dilapangan setelah 13 tahun di-swastanisasi menurutnya jauh dari kata ideal, efektif dan efisien. Dengan kualitas air yang tak begitu baik, warga Jakarta diharuskan membayar biaya tagihan tiap bulannya. Jika dibiarkan situasi air di Jakarta 12-13 tahun kedepan lebih buruk dari sekarang. Nila juga merekomendasikan pengelolaan ini dikembalikan saja ke PAM, perusahaan yang dimiliki oleh pemerintas DKI. Sementara Reza dari KruHA memaparkan hiruk pikuk dan terjadinya privatisasi seperti ini karena lengahnya negara.
Nurkholis dari LBH lebih banyak membakar semangat para peserta diskusi ibu-ibu yang hadir untuk menuntut keadilan. Analoginya ada 94 ribu pelanggan PAM Jaya yang terus membayar abodemen Rp. 11.000 /bulan, padahal air tidak mengalir ke rumahnya.
Terkait konsesi 25 tahun antara PAM DKI Jaya dengan PT PAM Lyonnaise JAYA (Palyja) dari Prancis, dan PT AETRA (dulu PT Thames PAM Jaya) dari Inggris. LBH berpendapat konsesi ini sesungguhnya batal demi hukum karena melanggar beberapa aturan Pemda DKI. Untuk itu dalam petisi yang dibagikan ke peserta diskusi, mereka menuntut untuk menghentikan kontrak konsesi layanan air bersih di Jakarta dengan dua operator swasta. Kemudian merencanakan berbagai tindakan yang dapat mendorong PAM Jaya menjadi penyedia layanan air publik yang baik dan handal, tanpa harus melibatkan sektor swasta. LBH sendiri merencanakan melakukan gugatan Clash Action atas buruknya pengelolaan air di Jakarta.
Jika diskusi ini diperuntukan masalah pengelolaan air oleh perusahaan, ada pertanyaan bagaimana posisi publik pengguna air. Masyarakat sangat diharapkan kehadirannya pada saat seperti ini.
Rita Mustikasari, aktivis lingkungan dari Telapak Bogor mengungkapkan sesungguhnya tidak terlalu banyak agenda yang fokus menggarap, memberi pendidikan, mengajak dan memotivasi tentang apa bagaimana pengelolaan air di Indonesia. Padahal penting sekali memperkuat basis atau kelompok masyarakat pengguna air untuk tahu dan terlibat bagaimana mengelola air.
Informasi tambahan oleh Kontributor : Rita Mustikasari
“Air di Jakarta sudah diprivatisasi oleh dua perusahaan asing dari Perancis dan pengelolaan air dimonopoli oleh dua perusahaan itu dan PAM hanya sebagai regulator,” papar Algiffari Aksa dari LBH.
Menurutnya untuk tahun 2010 saja PAM memiliki hutang 586 M, sedangkan Palyja untung 285 M (diluar Pajak), AETRA 195 M. PAM sendiri justru merugi 80 M.
Perubahan ini seperti memenuhi agenda tuntutan bahwa Manajemen Sumber Daya Air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis”. Maka sah-lah partisipasi swasta dalam penyediaan air untuk menghasilkan hasil yang effisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan.
Dalam presentasi diskusinya, Nila Ardhianie dari AMRTA Institute mengungkap data dan fakta monopoli dua perusahaan asing tersebut. Ada indikasi potensi kerugian negara sampai 18 T. Kondisi dilapangan setelah 13 tahun di-swastanisasi menurutnya jauh dari kata ideal, efektif dan efisien. Dengan kualitas air yang tak begitu baik, warga Jakarta diharuskan membayar biaya tagihan tiap bulannya. Jika dibiarkan situasi air di Jakarta 12-13 tahun kedepan lebih buruk dari sekarang. Nila juga merekomendasikan pengelolaan ini dikembalikan saja ke PAM, perusahaan yang dimiliki oleh pemerintas DKI. Sementara Reza dari KruHA memaparkan hiruk pikuk dan terjadinya privatisasi seperti ini karena lengahnya negara.
Nurkholis dari LBH lebih banyak membakar semangat para peserta diskusi ibu-ibu yang hadir untuk menuntut keadilan. Analoginya ada 94 ribu pelanggan PAM Jaya yang terus membayar abodemen Rp. 11.000 /bulan, padahal air tidak mengalir ke rumahnya.
Terkait konsesi 25 tahun antara PAM DKI Jaya dengan PT PAM Lyonnaise JAYA (Palyja) dari Prancis, dan PT AETRA (dulu PT Thames PAM Jaya) dari Inggris. LBH berpendapat konsesi ini sesungguhnya batal demi hukum karena melanggar beberapa aturan Pemda DKI. Untuk itu dalam petisi yang dibagikan ke peserta diskusi, mereka menuntut untuk menghentikan kontrak konsesi layanan air bersih di Jakarta dengan dua operator swasta. Kemudian merencanakan berbagai tindakan yang dapat mendorong PAM Jaya menjadi penyedia layanan air publik yang baik dan handal, tanpa harus melibatkan sektor swasta. LBH sendiri merencanakan melakukan gugatan Clash Action atas buruknya pengelolaan air di Jakarta.
Jika diskusi ini diperuntukan masalah pengelolaan air oleh perusahaan, ada pertanyaan bagaimana posisi publik pengguna air. Masyarakat sangat diharapkan kehadirannya pada saat seperti ini.
Rita Mustikasari, aktivis lingkungan dari Telapak Bogor mengungkapkan sesungguhnya tidak terlalu banyak agenda yang fokus menggarap, memberi pendidikan, mengajak dan memotivasi tentang apa bagaimana pengelolaan air di Indonesia. Padahal penting sekali memperkuat basis atau kelompok masyarakat pengguna air untuk tahu dan terlibat bagaimana mengelola air.
Informasi tambahan oleh Kontributor : Rita Mustikasari
Tautan halaman ini.
1 komentar:
terimakasih anggit sudah ngangkat berita tentang clash action beberapa koalisi ornop di jakarta.
Posting Komentar