Krisis Pangan VS Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Bogor 19 April 2010
Dengan perencanaan pemerintah Indonesia mengalokasikan 15 juta lahan pertanian pangan dari 7.5 Juta hektar yang saat ini tersedia untuk lahan pertanian pangan yang berkelanjutan, tentunya banyak hal dan permasalahan yang perlu diselesaikan untuk memenuhi target pengembangan lahan pertanian tersebut.
Hal tersebut diikuti dengan diterbitkannya UU No 26 /2007 dan UU No 41/2009 tentang penetapan ; 1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional / K-PPB Nasional ; 2) Lahan Pertanian Berkelanjutan Nasional/ L-PPB Nasional, dan; 3) Lahan Cadangan Pertani Pangan Berkelanjutan Nasional/ LC-PPB Nasional. Berkenaan terbitnya UU tersebut, lokakarya ini membahas usulan-usulan yang diperlukan untuk menjadi turunan instrumen Peraturan Perundangan yang akan menjadi turunan UU tersebut. Direncanakan penerbitan PP sesuai diamanatkan UU 41/2009 tersebut selambat-selambatnya pada 14 Oktober 2011 (2 tahun).
Perencanaan dan penetapan tersebut PP tersebut harus menjadi acuan daerah, sehingga kemudian ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP, Rencana Pembangunan Jangka Menengah / RPJM, dan pada Rapat Koordinasi Pemerintahan Pusat dan Daerah. Selain itu menjadi inputan / revisi untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Negara; Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Detail Tata Ruang. Demikian penjelasan Prof. Dr H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS, pada Seminar & Lokakarya Nasional “Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” di Bogor IICC Botani Square 14 April 2010 lalu.
Selanjutnya pada paparannya Prof. Dr H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS, mengingatkan agar pemerintah dan rakyat Indonesia agar waspada dan meminta untuk tidak terperangkap oleh negara-negara luar pemburu lahan pertanian pangan. Beliau juga menyayangkan setelah 6 tahun setelah keluarnya UU No 40/24 mengenai Perlindungan Sistem Jaminan Sosial Nasional baik warga negara dan petani, hingga kini pemerintah dan DPRD belum memenuhi penerbitan peraturan perundangan organiknya.
Kondisi lahan pertanian pangan Indonesia semakin berkurangnya akibat konversi lahan pertanian pangan menjadi perumahan yang mencapai 110 ribu hektar/ tahun dan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan seperti air dan lahan hijau terutama di daerah pulau Jawa yang merupakan lumbung padi Indonesia jelas Menteri Pertanian Indonesia Ir. H. Suswono, MMA saat membuka kegiatan lokakarya dan seminar ini. Selain itu laju kerusakan lingkungan akibat laju kerusakan hutan yang mencapai 2,8 juta hektar/ dengan diimbangi rehabilitasi yang hanya 400 s/d 500 ribu hektar/ tahun. Situasi tersebut menurut Menteri Pertanian memberikan dampak negatif yang serius pada produksi pangan nasional serta kondisi lingkungan dan budaya masyarakat yang tinggal disekitar lahan pertanian yang mengalami alih fungsi tersebut.
Banyak pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan dan dipenuhi untuk mengantisipasi kebutuhan pangan Indonesia kedepan, meskipun saat ini beberapa kebutuhan pertanian Indonesia seperti gula, beras, kedelai hingga bawang putih harus impor dari luar negeri. Bila tidak Indonesia harus siap meninggalkan predikat sebagai Negara pertanian, bila suatu saat semua kebutuhan pertanian Indonesia harus diimpor dari luar negeri.
Dengan perencanaan pemerintah Indonesia mengalokasikan 15 juta lahan pertanian pangan dari 7.5 Juta hektar yang saat ini tersedia untuk lahan pertanian pangan yang berkelanjutan, tentunya banyak hal dan permasalahan yang perlu diselesaikan untuk memenuhi target pengembangan lahan pertanian tersebut.
Hal tersebut diikuti dengan diterbitkannya UU No 26 /2007 dan UU No 41/2009 tentang penetapan ; 1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional / K-PPB Nasional ; 2) Lahan Pertanian Berkelanjutan Nasional/ L-PPB Nasional, dan; 3) Lahan Cadangan Pertani Pangan Berkelanjutan Nasional/ LC-PPB Nasional. Berkenaan terbitnya UU tersebut, lokakarya ini membahas usulan-usulan yang diperlukan untuk menjadi turunan instrumen Peraturan Perundangan yang akan menjadi turunan UU tersebut. Direncanakan penerbitan PP sesuai diamanatkan UU 41/2009 tersebut selambat-selambatnya pada 14 Oktober 2011 (2 tahun).
Perencanaan dan penetapan tersebut PP tersebut harus menjadi acuan daerah, sehingga kemudian ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP, Rencana Pembangunan Jangka Menengah / RPJM, dan pada Rapat Koordinasi Pemerintahan Pusat dan Daerah. Selain itu menjadi inputan / revisi untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Negara; Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Detail Tata Ruang. Demikian penjelasan Prof. Dr H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS, pada Seminar & Lokakarya Nasional “Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan” di Bogor IICC Botani Square 14 April 2010 lalu.
Selanjutnya pada paparannya Prof. Dr H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS, mengingatkan agar pemerintah dan rakyat Indonesia agar waspada dan meminta untuk tidak terperangkap oleh negara-negara luar pemburu lahan pertanian pangan. Beliau juga menyayangkan setelah 6 tahun setelah keluarnya UU No 40/24 mengenai Perlindungan Sistem Jaminan Sosial Nasional baik warga negara dan petani, hingga kini pemerintah dan DPRD belum memenuhi penerbitan peraturan perundangan organiknya.
Kondisi lahan pertanian pangan Indonesia semakin berkurangnya akibat konversi lahan pertanian pangan menjadi perumahan yang mencapai 110 ribu hektar/ tahun dan semakin berkurangnya daya dukung lingkungan seperti air dan lahan hijau terutama di daerah pulau Jawa yang merupakan lumbung padi Indonesia jelas Menteri Pertanian Indonesia Ir. H. Suswono, MMA saat membuka kegiatan lokakarya dan seminar ini. Selain itu laju kerusakan lingkungan akibat laju kerusakan hutan yang mencapai 2,8 juta hektar/ dengan diimbangi rehabilitasi yang hanya 400 s/d 500 ribu hektar/ tahun. Situasi tersebut menurut Menteri Pertanian memberikan dampak negatif yang serius pada produksi pangan nasional serta kondisi lingkungan dan budaya masyarakat yang tinggal disekitar lahan pertanian yang mengalami alih fungsi tersebut.
Banyak pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat Indonesia yang harus diselesaikan dan dipenuhi untuk mengantisipasi kebutuhan pangan Indonesia kedepan, meskipun saat ini beberapa kebutuhan pertanian Indonesia seperti gula, beras, kedelai hingga bawang putih harus impor dari luar negeri. Bila tidak Indonesia harus siap meninggalkan predikat sebagai Negara pertanian, bila suatu saat semua kebutuhan pertanian Indonesia harus diimpor dari luar negeri.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar