Prof. H. Ari Purbayanto, Ir. M.Sc, Ph.D; SK Dirjen Perikanan Tangkap 08/2010 Idealnya Mengacu pada WPP dan Diikuti RPP
Diharapkan dengan diterbitkannya SK Dirjen Perikanan Tangkap Nomor 08/DJ-PT/2010 yang berlaku mulai 15 Maret 2010. Angka penangkapan ikan yang melebihi batas ambang ketentuan penangkapan ikan (over fishing) dapat ditekan. Khususnya di beberapa wilayah perairan laut Indonesia seperti Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, dan Laut Arafura
Dengan diterbitkannya SK ini pemerintah telah melakukan penghentian sementara perusahaan penangkapan ikan yang mempunyai ijin penangkapan dengan peralatan tertentu (moratorium). Pencabutan ini berlaku pada tanggal 15 Maret 2010. SK Dirjen ini juga mengatur penghentian pemberian ijin usaha baru penangkapan ikan terhadap lima jenis alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan di lokasi tertentu
Beberapa jenis alat tangkap yang dilarang diantaranya adalah jenis "purse seine" untuk ikan pelagis besar pada kapal berukuran lebih dari 200 gross ton di semua daerah penangkapan, pukat ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Laut Arafura, pukat udang di semua daerah penangkapan, gillnet oceanic di Laut Arafura, dan rumpon di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Prof. H. Ari Purbayanto, Ir. M.Sc, Ph.D mengatakan bahwa penerbitan WPP ini rencananya diikuti dengan penyusunan RPP (rencana pengelolaan perikanan) baik laut Banda dan perairan Laut cina selatan. Namun setelah diajukan ke biro hukum DKP hal ini tidak mendapatkan respon yang cepat. Karena sejak tahun 2007 ajuan RPP tersebut diajukan hingga kini sampai terjadi pergantian menteri, RPP tersebut tidak juga menjadi ketetapan RPP pengelolaan pada WPP tersebut.
SK ini akan sulit dilakukan karena tidak diikuti oleh peraturan yang lebih tinggi, misalnya SK Menteri. Selain itu beliau juga melihat belum ada infrastruktur kelembagaan atau unit-unit pelaksana teknis yang tersedia sebagai bentuk implementasi SK ini.
Tumpang tindih WPP yang merupakan SK Menteri serta RPP turunannya tersebut bertolak belakang dengan HP3 atau Hak Pengelolaan Perairan Pesisir berdasarkan pada UU Pesisir 2007.
Hapsoro yang merupakan koordinator kampanye Telapak, menjelaskan, “Moratorium ini adalah sebuah terobosan. Namun, seharusnya ia diatur dalam produk hukum yang lebih tinggi dan disertai sanksi tegas , sehingga tidak menjadi macan kertas yang tak mampu memulihkan potensi sumberdaya perikanan kita serta kepentingan nelayan tradisional”.
Dengan diterbitkannya SK ini pemerintah telah melakukan penghentian sementara perusahaan penangkapan ikan yang mempunyai ijin penangkapan dengan peralatan tertentu (moratorium). Pencabutan ini berlaku pada tanggal 15 Maret 2010. SK Dirjen ini juga mengatur penghentian pemberian ijin usaha baru penangkapan ikan terhadap lima jenis alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan di lokasi tertentu
Beberapa jenis alat tangkap yang dilarang diantaranya adalah jenis "purse seine" untuk ikan pelagis besar pada kapal berukuran lebih dari 200 gross ton di semua daerah penangkapan, pukat ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Laut Arafura, pukat udang di semua daerah penangkapan, gillnet oceanic di Laut Arafura, dan rumpon di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Prof. H. Ari Purbayanto, Ir. M.Sc, Ph.D mengatakan bahwa penerbitan WPP ini rencananya diikuti dengan penyusunan RPP (rencana pengelolaan perikanan) baik laut Banda dan perairan Laut cina selatan. Namun setelah diajukan ke biro hukum DKP hal ini tidak mendapatkan respon yang cepat. Karena sejak tahun 2007 ajuan RPP tersebut diajukan hingga kini sampai terjadi pergantian menteri, RPP tersebut tidak juga menjadi ketetapan RPP pengelolaan pada WPP tersebut.
SK ini akan sulit dilakukan karena tidak diikuti oleh peraturan yang lebih tinggi, misalnya SK Menteri. Selain itu beliau juga melihat belum ada infrastruktur kelembagaan atau unit-unit pelaksana teknis yang tersedia sebagai bentuk implementasi SK ini.
Tumpang tindih WPP yang merupakan SK Menteri serta RPP turunannya tersebut bertolak belakang dengan HP3 atau Hak Pengelolaan Perairan Pesisir berdasarkan pada UU Pesisir 2007.
Hapsoro yang merupakan koordinator kampanye Telapak, menjelaskan, “Moratorium ini adalah sebuah terobosan. Namun, seharusnya ia diatur dalam produk hukum yang lebih tinggi dan disertai sanksi tegas , sehingga tidak menjadi macan kertas yang tak mampu memulihkan potensi sumberdaya perikanan kita serta kepentingan nelayan tradisional”.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar