Mancari Solusi Dampak Sosial dan Lingkungan 'Food Estate'
Baranangsiang|Kotahujan.com-Konsep pemenuhan kebutuhan pangan dengan Food Estate yang akan diterapkan dalam progam MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) terus menuai komentar berbagai pihak. Perdebatannya terus bergulir yang berujung pada pihak pendukung (optimis) dan penolak (pesimis). Tantangan Indonesia selama 20 tahun kedepan adalah bagaimana keluar dari krisis pangan akibat berkurangnya lahan pertanian produktif di tanah Jawa. Ditengah kekhawatiran itu pemerintah menggulirkan progam Food Estate sebagai opsi strategis moda produksi terobosan demi mewujudkan keamanan pangan. Produk yang disasar adalah beras (padi), jagung, kedelai, gula (tebu) dan peternakan sapi. Perbedaannya dengan pola produksi biasa selama ini, Food Estate bersifat corporate based-food production dengan skala yang lebih besar. Usaha produksi pangan tidak lagi dilakukan oleh petani dalam skala mikro-kecil-menengah lagi, tetapi oleh pihak swasta dengan modal berskala besar.
IPB melalui FEMA (Fakultas Ekologi Manusia) mencoba membuka dialog dan wacana Food Estate ini pada seminar “Food Estate Indonesia : mampukah Mewujudkan Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, Berkedaulatan dan Berkeadilan ?”, Selasa (13/12) lalu di IICC Bogor . Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi pada seminar itu mengatakan, melalui Food Estate kegiatan usaha dilakukan terintegrasi sejak hulu hingga hilir, masyarakat yang dilibatkan-pun dapat menikmati nilai tambah optimal. Terkait penerapannya pada mega proyek MIFEE beberapa kalangan menyoroti dampak sosial dan perubahan besar yang terjadi jika konsep ini diberlakukan. Carlo dari Sawit Watch mempertanyakan sosialisasi progam ini di tingkat masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, terkait temuan ada beberapa kampung yang menolak MIFEE.
Dr. Soeryo Adiwibowo mewaspadai adanya culture gab yang bisa muncul di masyarakat Merauke. Karena selain Ekologi dan manajemen, setiap perubahan pembangunan juga disertai dimensi perubahan sosial dan lingkungan, kondisi inilah yang sering dilupakan apalagi jika skalanya besar. Untuk itu diperlukan kesabaran mengajak masyarakat Merauke dengan mengakomodir budaya dan landskap setempat. Mereka pun harus dilibatkan dalam pemetaan lingkungannya secara partisipatif.
Meski masih terus diperdebatkan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto berharap Food Estate ini segera diterapkan dengan segala keterbatasan, dengan segala sumber daya yang ada. Karena ini dikonsep sebagai sebuah gagasan yang secara bertahap dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri bahkan dunia nantinya. Senada dengan Gatot, tokoh adat suku Marind yang juga mantan Bupati Merauke Johanes Glube Gebze mengungkapkan, untuk mendukung ketahanan pangan tidak cukup hanya petani dan pemerintah daerah saja, konsep ini memang membawa beberapa konsekuensi yang diragukan oleh beberapa pihak. Tetapi ia menggaris bawahi progam (MIFEE) ini tidak bermaksud mengorbankan siapapun. Ia dan masyarakat Merauke siap menerima gagasan ini. Selain beras (padi) yang jadi unggulan komoditi lain di Merauke juga akan dikembangkan. Saat ini menurut Gebze proses sosialisasi dan pelibatan masyarakat masih terus berjalan.
Beberapa peserta seminar sempat rancu memahami tema seminar apakah ini Food Estate, MIFEE atau bahkan MIRE. Tidak fokusnya alur pembicaraan dalam seminar ini justru membuat pembahasan tidak maksimal. Dr. Arif Satria selaku dekan FEMA-IPB menjelaskan bahwa sejatinya seminar ini untuk mengetahui sosialisasi kebijakan Food Estate dan bisa memberikan solusi masalah aspek sosial dan ekologi yang timbul dari konsep Food Estate ini. FEMA IPB sangat berkepentingan dengan kebijakan ekologi khususnya terkait pangan yang memang sangat strategis.
IPB melalui FEMA (Fakultas Ekologi Manusia) mencoba membuka dialog dan wacana Food Estate ini pada seminar “Food Estate Indonesia : mampukah Mewujudkan Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, Berkedaulatan dan Berkeadilan ?”, Selasa (13/12) lalu di IICC Bogor . Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi pada seminar itu mengatakan, melalui Food Estate kegiatan usaha dilakukan terintegrasi sejak hulu hingga hilir, masyarakat yang dilibatkan-pun dapat menikmati nilai tambah optimal. Terkait penerapannya pada mega proyek MIFEE beberapa kalangan menyoroti dampak sosial dan perubahan besar yang terjadi jika konsep ini diberlakukan. Carlo dari Sawit Watch mempertanyakan sosialisasi progam ini di tingkat masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, terkait temuan ada beberapa kampung yang menolak MIFEE.
Dr. Soeryo Adiwibowo mewaspadai adanya culture gab yang bisa muncul di masyarakat Merauke. Karena selain Ekologi dan manajemen, setiap perubahan pembangunan juga disertai dimensi perubahan sosial dan lingkungan, kondisi inilah yang sering dilupakan apalagi jika skalanya besar. Untuk itu diperlukan kesabaran mengajak masyarakat Merauke dengan mengakomodir budaya dan landskap setempat. Mereka pun harus dilibatkan dalam pemetaan lingkungannya secara partisipatif.
Meski masih terus diperdebatkan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto berharap Food Estate ini segera diterapkan dengan segala keterbatasan, dengan segala sumber daya yang ada. Karena ini dikonsep sebagai sebuah gagasan yang secara bertahap dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri bahkan dunia nantinya. Senada dengan Gatot, tokoh adat suku Marind yang juga mantan Bupati Merauke Johanes Glube Gebze mengungkapkan, untuk mendukung ketahanan pangan tidak cukup hanya petani dan pemerintah daerah saja, konsep ini memang membawa beberapa konsekuensi yang diragukan oleh beberapa pihak. Tetapi ia menggaris bawahi progam (MIFEE) ini tidak bermaksud mengorbankan siapapun. Ia dan masyarakat Merauke siap menerima gagasan ini. Selain beras (padi) yang jadi unggulan komoditi lain di Merauke juga akan dikembangkan. Saat ini menurut Gebze proses sosialisasi dan pelibatan masyarakat masih terus berjalan.
Beberapa peserta seminar sempat rancu memahami tema seminar apakah ini Food Estate, MIFEE atau bahkan MIRE. Tidak fokusnya alur pembicaraan dalam seminar ini justru membuat pembahasan tidak maksimal. Dr. Arif Satria selaku dekan FEMA-IPB menjelaskan bahwa sejatinya seminar ini untuk mengetahui sosialisasi kebijakan Food Estate dan bisa memberikan solusi masalah aspek sosial dan ekologi yang timbul dari konsep Food Estate ini. FEMA IPB sangat berkepentingan dengan kebijakan ekologi khususnya terkait pangan yang memang sangat strategis.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar