Stop Penayangan "Primitive Runaway" Trans TV
Bogor|Kotahujan.com-Progam hiburan Primitive Runaway yang tayang di Trans TV setiap Jumat pukul 19.15 menuai protes kalangan aktivis, pegiat dan pendukung masyarakat masyarakat adat di Indonesia. Tayangan tersebut dianggap menghina dan merendahkan suku tertentu dalam masyarakat adat. Sebutan primitif yang disematkan layak ditentang karena tidak patut dan tepat penggunaanya. Terlepas tontonan tersebut adalah gambaran realitas yang mungkin mengandung kebenaran faktual dan objektif atau inovasi kreasi media untuk tujuan hiburan semata-mata. Tidak selayaknya menyebut kelompok suku itu primitif hanya karena berbeda asal usul, suku, adat istiadat, kebiasaan, termasuk cara dan pola hidup sehari-hari dari dunia modern. Mereka bukan primitif...!!, demikian pernyataan keras mereka pada surat keberatan terbuka yang dilayangkan ke PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV). Surat keberatan terbuka itu didukung 99 nama individu dan 41 organisasi yang menolak tayangan Primitive Runaway. Tak kurang dari 24 jam 1057 orang mendukung grup Facebook Stop Primitive Runaway Trans TV.
Organisasi yang mendukung adalah Sarekat Hijau Indonesia, HuMA, KSPPM Parapat, Yayasan Visi Anak Bangsa, Yayasan Satudunia, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, TPP Lampung, Konsorsium Pembaruan Agraria, Gekko Studio, JARI Indonesia, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Kehati, BP PERGERAKAN, Foker LSM Papua, Yayasan Titian, Yayasan Mitra Insani Riau, WALHI Kalbar, YLKMP—NTB, Solidaritas Perempuan, Down to Earth Indonesia Office, Yayasan Komunitas Seni (Komseni), Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh, WALHI Riau, LBBT Pontianak, Forest Watch Indonesia, CAPPA, Jambi, YMP-Yayasan Merah Putih, Kaliptra Sumatera, INFID, AMAN Sulawesi Selatan, Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan, Lingkungan (STABIL), Yayasan Merah Putih (YMP), Palu-Sulawesi Tengah, Watala – Lampung, Yayasan Akar , Forum Peduli Masurai – Jambi, KKI WARSI, KIARA, Perkumpulan Qbar - Sumatera Barat, LPPSP Semarang, WALHI NTT, AMAN Wilayah Kalbar dan WALHI Aceh. Dukungan ini dipastikan akan terus bertambah.
“Surat terbuka ini coba mengangkat sisi kemanusiaan yang telah tanpa disengaja, mungkin diabaikan oleh pengasuh program PRIMITIVE RUNAWAY. Sebagai orang awam dunia penyiaran, kami yakin selayaknya proses editing yang lengkap dan objektif berjalan baik dan sebagaimana mestinya”. Tulis Norman Jiwan dari Sawit Watch.
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Bab VI (Penghormatan terhadap Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) pada Pasal 6 menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, antargolongan, dan hak pribadi maupun kelompok, yang mencakup keragaman budaya, usia, gender, dan kehidupan sosial ekonomi. Dalam hal ini penanggung jawab dan kru Primitive Runaway tidak menjelaskan secara lengkap dan objektif makna dan implikasi, definisi, konotasi dan asosiasi kata PRIMITIVE atau primitif terhadap keberadaan, asal usul, adat istiadat, pola dan tradisi hidup, makan dan makanan khususnya kepada suku dalam masyarakat adat yang telah menjadi materi-objek gambar dan tontonan acara tersebut.
Surat keberatan itu tidak bermaksud membatasi dan mengekang kebebasan kreasi, inovasi dan karya intelektual demi popularitas dan nilai rating. Tidak juga bermaksud menegasikan pilihan dan kebebasan masyarakat dan anggota suku yang telah terlanjur memberikan persetujuan terlibat dan mendukung program Primitive Runaway.
Dilihat sekilas tayangan ini sepertinya tidak ada yang salah dari gambaran singkat program tersebut. Mungkin program tersebut dimaksudkan sebagai hiburan yang mengandung makna pendidikan dan promosi kekayaan suku bangsa di Indonesia. Muatan edukasi untuk berkenalan dengan satu suku di Indonesia yang dilakukan oleh seorang artis juga tidak ada masalahnya. Belajar adat istiadat, budaya maupun kebiasaan sebuah suku dapat dipandang sebagai satu pendidikan bagi orang dewasa. Tidak ada salahnya juga Trans TV memiliki hak dan kebebasan menjalankan karya penyiaran dengan maksud dan tujuan penyiaran yang edukatif dan menghibur sebagaimana yang diatur didalam UU No. 32 tahun 2002.
“Diskriminasi negatif terhadap suku tertentu telah menciptakan stigma visual dan membentuk rekaman memori bahwa 'suku' yang dipertontonkan 'terbelakang', kontras dengan kehidupan artis selebritis yang ditampilkan”, tambahnya.
Disebutkan pada salah satu tayangannya Jum'at, 10 Desember 2010. Kalangan aktivis masyarakat adat menemukan pembohongan besar, dimana masyarakat yang ditampilkan bukan Orang Rimba. Aktivis yang pernah mendampingi Orang Rimba di Bukti-12, Bukit-30 dan sepanjang Lintas Sumatera tidak mengenal 'orang rimba' yang tampil didalam acara tersebut. Tidak ada Orang Rimba di Rengat Pekanbaru, tapi yang ada diwilayah tersebut adalah Talang Mamak (mereka berada disekitar kawasan Indragiri dan Bukit-30). Pendeknya acara tersebut sangat diluar kepatutan, penuh rekayasa dan penggambaran hal-hal yang tidak pernah terjadi di Rimba, misalnya mengejar dan menombak. Orang Rimba tidak mengenal budaya kekerasan seperti itu.
Tuntutan penghentian tayangan dengan tegas mereka serukan. Segala eksploitasi suku yang mengarah pada penghinaan dan merendahkan, persepsi dan penggunaan kata primitif terhadap suku dalam masyarakat adat harus dihentikan (kata primitif erat kaitannya dengan konotasi negatif).
Surat Keberatan Terbuka juga mendesak Komisi Penyiaran Indonesia bersama otoritas dan pimpinan PT. Televisi Transformasi Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh dan objektif terhadap seluruh program Primitive Runaway. Aktivis, pegiat dan pendukung masyarakat adat Indonesia mendesak program Primitive Runaway dihentikan sementara penayangannya agar terjadi penilaian yang objektif dan memenuhi rasa keadilan publik.
Organisasi yang mendukung adalah Sarekat Hijau Indonesia, HuMA, KSPPM Parapat, Yayasan Visi Anak Bangsa, Yayasan Satudunia, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, TPP Lampung, Konsorsium Pembaruan Agraria, Gekko Studio, JARI Indonesia, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Kehati, BP PERGERAKAN, Foker LSM Papua, Yayasan Titian, Yayasan Mitra Insani Riau, WALHI Kalbar, YLKMP—NTB, Solidaritas Perempuan, Down to Earth Indonesia Office, Yayasan Komunitas Seni (Komseni), Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh, WALHI Riau, LBBT Pontianak, Forest Watch Indonesia, CAPPA, Jambi, YMP-Yayasan Merah Putih, Kaliptra Sumatera, INFID, AMAN Sulawesi Selatan, Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan, Lingkungan (STABIL), Yayasan Merah Putih (YMP), Palu-Sulawesi Tengah, Watala – Lampung, Yayasan Akar , Forum Peduli Masurai – Jambi, KKI WARSI, KIARA, Perkumpulan Qbar - Sumatera Barat, LPPSP Semarang, WALHI NTT, AMAN Wilayah Kalbar dan WALHI Aceh. Dukungan ini dipastikan akan terus bertambah.
“Surat terbuka ini coba mengangkat sisi kemanusiaan yang telah tanpa disengaja, mungkin diabaikan oleh pengasuh program PRIMITIVE RUNAWAY. Sebagai orang awam dunia penyiaran, kami yakin selayaknya proses editing yang lengkap dan objektif berjalan baik dan sebagaimana mestinya”. Tulis Norman Jiwan dari Sawit Watch.
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Bab VI (Penghormatan terhadap Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) pada Pasal 6 menyebutkan bahwa Lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, antargolongan, dan hak pribadi maupun kelompok, yang mencakup keragaman budaya, usia, gender, dan kehidupan sosial ekonomi. Dalam hal ini penanggung jawab dan kru Primitive Runaway tidak menjelaskan secara lengkap dan objektif makna dan implikasi, definisi, konotasi dan asosiasi kata PRIMITIVE atau primitif terhadap keberadaan, asal usul, adat istiadat, pola dan tradisi hidup, makan dan makanan khususnya kepada suku dalam masyarakat adat yang telah menjadi materi-objek gambar dan tontonan acara tersebut.
Surat keberatan itu tidak bermaksud membatasi dan mengekang kebebasan kreasi, inovasi dan karya intelektual demi popularitas dan nilai rating. Tidak juga bermaksud menegasikan pilihan dan kebebasan masyarakat dan anggota suku yang telah terlanjur memberikan persetujuan terlibat dan mendukung program Primitive Runaway.
Dilihat sekilas tayangan ini sepertinya tidak ada yang salah dari gambaran singkat program tersebut. Mungkin program tersebut dimaksudkan sebagai hiburan yang mengandung makna pendidikan dan promosi kekayaan suku bangsa di Indonesia. Muatan edukasi untuk berkenalan dengan satu suku di Indonesia yang dilakukan oleh seorang artis juga tidak ada masalahnya. Belajar adat istiadat, budaya maupun kebiasaan sebuah suku dapat dipandang sebagai satu pendidikan bagi orang dewasa. Tidak ada salahnya juga Trans TV memiliki hak dan kebebasan menjalankan karya penyiaran dengan maksud dan tujuan penyiaran yang edukatif dan menghibur sebagaimana yang diatur didalam UU No. 32 tahun 2002.
“Diskriminasi negatif terhadap suku tertentu telah menciptakan stigma visual dan membentuk rekaman memori bahwa 'suku' yang dipertontonkan 'terbelakang', kontras dengan kehidupan artis selebritis yang ditampilkan”, tambahnya.
Disebutkan pada salah satu tayangannya Jum'at, 10 Desember 2010. Kalangan aktivis masyarakat adat menemukan pembohongan besar, dimana masyarakat yang ditampilkan bukan Orang Rimba. Aktivis yang pernah mendampingi Orang Rimba di Bukti-12, Bukit-30 dan sepanjang Lintas Sumatera tidak mengenal 'orang rimba' yang tampil didalam acara tersebut. Tidak ada Orang Rimba di Rengat Pekanbaru, tapi yang ada diwilayah tersebut adalah Talang Mamak (mereka berada disekitar kawasan Indragiri dan Bukit-30). Pendeknya acara tersebut sangat diluar kepatutan, penuh rekayasa dan penggambaran hal-hal yang tidak pernah terjadi di Rimba, misalnya mengejar dan menombak. Orang Rimba tidak mengenal budaya kekerasan seperti itu.
Tuntutan penghentian tayangan dengan tegas mereka serukan. Segala eksploitasi suku yang mengarah pada penghinaan dan merendahkan, persepsi dan penggunaan kata primitif terhadap suku dalam masyarakat adat harus dihentikan (kata primitif erat kaitannya dengan konotasi negatif).
Surat Keberatan Terbuka juga mendesak Komisi Penyiaran Indonesia bersama otoritas dan pimpinan PT. Televisi Transformasi Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh dan objektif terhadap seluruh program Primitive Runaway. Aktivis, pegiat dan pendukung masyarakat adat Indonesia mendesak program Primitive Runaway dihentikan sementara penayangannya agar terjadi penilaian yang objektif dan memenuhi rasa keadilan publik.
Tautan halaman ini.
" />
0 komentar:
Posting Komentar