Inilah Resiko Kami Bermain dengan Orang Pintar
Batanghari, Jambi|Kotahujan.com-Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, di Kecamatan Bajubang, kabupaten Batanghari, Jambi adalah sebuah dusun kecil yang terletak didalam kawasan pekebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada (Wilmar Group). Menuju dusun ini tidaklah mudah, lokasinya dikelilingi pohon sawit perusahaan dengan akses jalan yang dimusim hujan berlumpur dan tidak bisa dilalui mobil-mobil kecil yang bukan four-wheel drive. Nyaris tidak mendapat perhatian, meski dusun ini memiliki cerita konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka.
Kutar, seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya. Dari dirinyalah bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka, terurai jelas.
Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.
Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati. Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.
Sementara di dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu sungai Limus, sungai Dahan Petaling, sungai Langgar Tuan, sungai Pagar, sungai Klutum, sungai Lesung Tigo, sungai Lamban Bemban, sungai Tertap, sungai Nyalim, sungai Temidai, sungai Sialang Meranti, sungai Dahan Setungau, sungai Ulu Kelabau, sungai Marung Tengah, sungaiBindu, sungai Nuaran Banyak, sungai Semio, sungai Klabau, dan sungai Arang paro.
Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumber mata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.
Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) yang diperuntukan perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.
Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.
Penggusuran paksa dilakukan oleh aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi. Hal ini tidak saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.
Kutar mengungkapkan saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian.
“Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batanghari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.
Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka.
Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang.
“Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, kalau istri bapak adalah istri kami? harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.
Kutar menjelaskan, kalau memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah.
“Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang transmigran) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang yang dulu banyak di hutan sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman,tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.
Laporan : Een Irawan Putra
Kutar, seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya. Dari dirinyalah bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka, terurai jelas.
Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.
Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati. Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.
Sementara di dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu sungai Limus, sungai Dahan Petaling, sungai Langgar Tuan, sungai Pagar, sungai Klutum, sungai Lesung Tigo, sungai Lamban Bemban, sungai Tertap, sungai Nyalim, sungai Temidai, sungai Sialang Meranti, sungai Dahan Setungau, sungai Ulu Kelabau, sungai Marung Tengah, sungaiBindu, sungai Nuaran Banyak, sungai Semio, sungai Klabau, dan sungai Arang paro.
Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumber mata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.
Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) yang diperuntukan perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.
Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.
Penggusuran paksa dilakukan oleh aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi. Hal ini tidak saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.
Kutar mengungkapkan saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian.
“Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batanghari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.
Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka.
Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang.
“Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, kalau istri bapak adalah istri kami? harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.
Kutar menjelaskan, kalau memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah.
“Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang transmigran) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang yang dulu banyak di hutan sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman,tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.
Laporan : Een Irawan Putra
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar