Kemitraan Membawa Derita
Jambi|Kotahujan.com-Negeri ini mengaku merdeka sejak 65 tahun yang lalu. Waktu yang panjang itu ternyata belum menjadi jaminan hakikat kemerdekaan yang seutuhnya, belum semua lapisan masyarakat yang ada di negeri ini merasakan merdeka seutuhnya. Setidaknya itulah cerminan pertanyaan yang bisa kita gali menyaksikan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat didaerah. Terlebih untuk masyarakat pedalaman yang sering disangsikan keberadaannya hanya karena mereka memiliki tata cara hidup berbeda. Penindasan, pembodohan dan pemiskinan masih akrab dipihak mereka. Masyarakat Suku Bathin IX di Jambi salah satunya. Sebagaimana penuturan Kontributor Kotahujan.com, Een Irawan Putra, usai melakukan perjalanan ke pedalaman Jambi beberapa waktu lalu. Pembuat film dokumenter itu menyaksikan bagaimana jejak kemerdekaan masih jauh dari masyarakat Suku Bathin IX.
Perkenalan dengan Suku Bathin IX dimulai dari rumah Pak Abunyani, tokoh yang dikenal lewat rubrik Sosok di harian Kompas sebulan sebelumnya. Di rumahnya yang sederhana di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari, banyak informasi mengenai Suku Bathin IX yang diperoleh.
Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.
Sialang Pugug, Desa Singoan adalah lokasi dimana beberapa masyarakat Bathin IX berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar Tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.
Sejak ditandatangani, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung, Kayu-kayunya sudah ditebang dan dikuasai PT IKU. Surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, menyebutkan perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Dengan harapan ini, mereka rela melepaskan tanah untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.
Harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba hilang dan menjadi mimpi buruk bagi mereka. Hutan habis ditebang dan kayu-kayunya diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Kabar beredar Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing. Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.
Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanenan bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.
Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi ?...Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batanghari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batanghari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batanghari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit.
Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan. Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan.
Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah.
“Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.
Zainudin juga menjelaskan pada bulan September tahun lalu, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah dikirimi surat dari Polres Batanghari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK.
“Katanya kalau 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang ?” lanjut Zainudin.
Laporan : Een Irawan Putra
Perkenalan dengan Suku Bathin IX dimulai dari rumah Pak Abunyani, tokoh yang dikenal lewat rubrik Sosok di harian Kompas sebulan sebelumnya. Di rumahnya yang sederhana di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari, banyak informasi mengenai Suku Bathin IX yang diperoleh.
Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.
Sialang Pugug, Desa Singoan adalah lokasi dimana beberapa masyarakat Bathin IX berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar Tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.
Sejak ditandatangani, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung, Kayu-kayunya sudah ditebang dan dikuasai PT IKU. Surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, menyebutkan perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Dengan harapan ini, mereka rela melepaskan tanah untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.
Harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba hilang dan menjadi mimpi buruk bagi mereka. Hutan habis ditebang dan kayu-kayunya diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Kabar beredar Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing. Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.
Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanenan bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.
Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi ?...Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batanghari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batanghari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batanghari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit.
Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan. Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan.
Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah.
“Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.
Zainudin juga menjelaskan pada bulan September tahun lalu, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah dikirimi surat dari Polres Batanghari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK.
“Katanya kalau 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang ?” lanjut Zainudin.
Laporan : Een Irawan Putra
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar