“Panghateupan” Guna Memaksimalkan Perolehan Panen
Menggunakan apa yang tersedia di alam, serta mendayagunakan potensi lingkungan hingga maksimal menjadi kewajiban manusia untuk semakin arif dan bijaksana dalam mengelola lingkungan secara bersama-sama. Pemanfaatan alam dan lingkungan secara maksimal ini tercermin dengan pengelolaan pertanian pada masyarakat Ciptagelar Kabupaten Lebak Banten Kidul, Provinsi Banten. Hal ini tercermin dalam aktivitas pembuatan pada awal Maret 2011 lalu bangunan bernama “Pangheucakan”, yang berfungsi sebagai tempat penyimpatan dan pengeringan gabah sementara setelah dipanen yang merupakan tradisi setempat menjelang saat panen tiba. “Pangheucakan” yang merupakan istilah dalam bahasa Sunda, merupakan bangunan khas daerah Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul berfungsi sebagai tempat pengumpulan dan pengeringan gabah yang rontok dari bagian “malai” yang biasa ikut dipotong saat panen. Bagian “malai” adalah bagian padi dimana terdapat bunga, butir – butir padi dan batang padi. Bangunan ini biasa didirikan atau terdapat di areal persawahan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Banten Kidul.
Berbahan dasar bamboo dan kayu, berukuran sekitar 1.5 M x 2 M x tinggi 1.5 M dan berbuntuk kubus serta dilengkapi atap daun enau, bangunan ini mempunyai desain bentuk atap yang unik. Hampir keseluruhan bahan bangunan menggunakan apa yang tersedia di alam serta dikerjakan selama dua sehari saja bersama 13 orang yang terdiri dari kaum ibu dan bapak.
Bangunan pangheucakan ini selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara bulir rontokan gabah, juga berfungsi sebagai media pengeringan gabag. Dengan menggeser atap bangunan yang telah didesain sedemikian rupa, sehingga dapat semakin memudahkan proses pengeringan saat tersedia cukup panas matahari. Sehingga timbunan gabah yang berada dalam bangunan “pangheucakan” tersebut tidak perlu dikeluarkan untuk disebar dan dikeringkan, proses pengeringan cukup membuka atap bangunan dan membiarkan cahaya matahari menyinari tumpukan gabah didalam pangheucakan tersebut.
Menurut Sukamta, selaku sesepuh adat Ciptagelar pengerjaan bangunan panghatepan ini berdasarkan kerelaan warga masyarakat, tanpa paksaan. Bukan karena didasari keinginan untuk dibayar, masyarakat bergotong-royong membangun bangunan panghateupan ini.
Fenomena ini merupakan tradisi masyarakat kasepuhan Ciptagelar dalam merawat dan menjaga kekayaan alam mereka secara arif dan bijaksana. Memuliakan hasil panen dengan memamfaatkan secara maksimal, menghindari hasil panen terbuang percuma serta menggunakan ketersediaan energi yang terdapat di lingkungan dan alam. Disamping itu tradisi gotong-royong yang pada masyarakat perkotaan mulai punah, pada masyarakat Ciptagelar menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Berbahan dasar bamboo dan kayu, berukuran sekitar 1.5 M x 2 M x tinggi 1.5 M dan berbuntuk kubus serta dilengkapi atap daun enau, bangunan ini mempunyai desain bentuk atap yang unik. Hampir keseluruhan bahan bangunan menggunakan apa yang tersedia di alam serta dikerjakan selama dua sehari saja bersama 13 orang yang terdiri dari kaum ibu dan bapak.
Bangunan pangheucakan ini selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara bulir rontokan gabah, juga berfungsi sebagai media pengeringan gabag. Dengan menggeser atap bangunan yang telah didesain sedemikian rupa, sehingga dapat semakin memudahkan proses pengeringan saat tersedia cukup panas matahari. Sehingga timbunan gabah yang berada dalam bangunan “pangheucakan” tersebut tidak perlu dikeluarkan untuk disebar dan dikeringkan, proses pengeringan cukup membuka atap bangunan dan membiarkan cahaya matahari menyinari tumpukan gabah didalam pangheucakan tersebut.
Menurut Sukamta, selaku sesepuh adat Ciptagelar pengerjaan bangunan panghatepan ini berdasarkan kerelaan warga masyarakat, tanpa paksaan. Bukan karena didasari keinginan untuk dibayar, masyarakat bergotong-royong membangun bangunan panghateupan ini.
Fenomena ini merupakan tradisi masyarakat kasepuhan Ciptagelar dalam merawat dan menjaga kekayaan alam mereka secara arif dan bijaksana. Memuliakan hasil panen dengan memamfaatkan secara maksimal, menghindari hasil panen terbuang percuma serta menggunakan ketersediaan energi yang terdapat di lingkungan dan alam. Disamping itu tradisi gotong-royong yang pada masyarakat perkotaan mulai punah, pada masyarakat Ciptagelar menjadi hal yang mutlak diperlukan.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar