Konsultasi Draft Naskah Akademik RUU PPMA Wilayah Jawa
Jember.
"Selamat datang delegasi masyarakat adat wilayah Jawa". Begitulah kira-kira kalimat spanduk yang membentang di pintu masuk Gedung Soetarjo, Universitas Negeri Jember (UNEJ).
Dari tanggal 2 - 3 Mei 2011, AMAN bekerjasama dengan UKM Kesenian UNEJ, menggelar Konsultasi Draft Naskah RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPMA) untuk wilayah Jawa. Hadir dalam konsultasi ini, 45 orang perwakilan dari Masyarakat adatjavascript:void(0) Using, Tengger, Kasepuhan Banten Kidul dan Parahyangan.
Kegiatan ini merupakan konsultasi region yang terakhir. Sebelumnya, AMAN telah melakukan kegiatan serupa di region Sumatera, Balinusra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Tujuannya untuk mendapatkan masukan dari Draft Naskah Akademik RUU PPMA dari komunitas masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Tari Gandrung dari Using menyambut peserta konsultasi, dimainkan oleh 2 Mahasiswi dari UKM Kesenian UNEJ. Bagi masyarakat Using, Tarian Gandrung dibawakan sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan panen mereka. Dalam bahasa Jawa Gandrung berarti "tergila-gila karena asmara" atau "mencintai" sangat (artikata.com). Kemudian Gandrung diartikan sebagai terpesonanya masyarakat agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan (sumber).
Kemudian, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Dimulai dari Ketua Panitia yang dilanjutkan Ketua Umum UKM Kesenian. Dalam sambutannya, mereka senang bisa andil dalam acara ini sehingga bisa mengenal budaya-budaya di Indonesia, khususnya Jawa. Hal ini sangat membantu dalam kreasi seni mereka, untuk melestarikan warisan leluhur.
Kepala Dinas Pariwisata Jember, Arif Cahyono, dalam sambutannya mengatakan bahwa Jember merupakan "Dalung" atau tempat menampung dari masyarakat yang multiculture. Karena memang warga Jember sebagian besar berasal dari berbagai daerah sekitarnya yang mempunyai latar budaya yang berbeda-beda. Konon, Jember merupakan salah satu perlintasan dari kerajaan Majapahit. Banyak situs-situs dari Kerajaan Majapahit tersebar di kota "Tembakau" ini.
Arif mengatakan bahwa negara yang multiculture harus dijaga dan dilestarikan dari gilasan perubahan jaman. Jika tidak identitas bangsa akan hilang. Masyarakat Adat adalah ujung tombak dan pelaku pelestarian budaya yang menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Ketua PW AMAN Jawa, Muhtarom Sumakerti, dalam sambutannya mengatakan bahwa Konsultasi ini adalah upaya untuk penyempurnaan RUU PPMA menjadi bahan dasar dalam Undang-undang yang akan disahkan. Sehingga diperlukan masukan dari masyarakat adat tentang bentuk UU seperti apa yang cocok bagi mereka.
Pembantu Rektor 3, Andang Alianto, membuka secara resmi kegiatan ini. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa hasil dari konsultasi RUU ini harus dikawal dengan baik sampai menjadi UU. "Kalo tidak dikawal dengan baik, maka didalamnya justru akan merugikan masyarakat adat" kata Andang. Karena banyak kepentingan dalam proses-proses pengesahan sebuah UU di Legeslatif.
...
Setelah pembukaan, acara dimulai dengan Seminar tentang Draft RUU ini. Sebagai narasumber adalah Erasmus Cahyadi dari AMAN, Dominingus Ratu dosen Fak. Hukum UNEJ dan Arif Cahyono dari Dinas Pariwisata Jember.
Erasmus Cahyadi mengawali presentasi dengan membahas draft naskah akademik RUU PPMA. Eras menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dalam RUU ini adalah Partisipatif, Keadilan, Transparansi, Kesetaraan/non-diskriminasi, HAM dan Keberlanjutan Lingkungan. Sedangkan materi yang diatur adalah Definisi Masyarakat Adat, Kedudukan Masyarakat Adat dalam Negara, dan Hak-hak Masyarakat Adat. Hak-hak yang dimaksud diantaranya adalah Hak atas tanah dan sumberdaya alam, hak atas budaya, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak atas FPIC (Free, Prior and Inform Consent) yang salah satunya berhak menerima atau menerima proyek pembangunan dalam wilayah mereka.
Dominingus Ratu, sebagai pembahas mengatakan bahwa telah melakukan penelitian-penelitian tentang hak-hak masyarakat adat dibeberapa daerah. Berdasarkan pengamatan Dominingus, Negara ini sudah mengabaikan Masyarakat Adat. Mereka seolah-olah dianak tirikan oleh Negara ini. Dibuktikan dengan kasus-kasus tanah di Kemiren, Madura dan daerah lainnya yang tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Menurutnya, Masyarakat Adat mempunyai institusi dan pola penyelesaian dengan hukum adat. Namun hal ini justru sistem ini dihapus Negara dengan sistem lainnya, yang menyebabkan kewibawaan masyarakat adat tidak ada. Akibatnya, masalah yang ada tidak pernah diselesaikan.
Dominingus juga menyarankan sepaya lembaga yang ada di masyarakat adat supaya dihidupkan. Negara harus mengormati dan melindungi sistem yang ada ini. Bukan untuk dihilangkan. "Negoro mowo toto, Deso mowo coro" kata Dominingus. Negara punya hukum, desa juga punya adat istiadat.
Arif Cahyono, mengatakan bahwa perlu adanya konsistensi dari pemerintah untuk perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Daerah sebenarnya ada niatan untuk itu, tapi perlu payung hukum nasional yang jelas. "di Pemda sudah ada, tapi di Nasional belum ada. oleh karena itu banyak PEMDA yang sak karepe dewe. Ada inconsistensi dari Pemerintah" kata Arif.
Arif juga mengatakan bahwa masyarakat adat saat ini dipandang sebagai pelaku pelestari adat-istiadat dan budaya saja. Seharusnya, masyarakat adat juga harus dipandang sebagai sebagai pelaku pemerintahan pada subsisten yang lain.
Jika disahkan, RUU ini akan menjadi UU Revolutif. Artinya, menjadi dasar perubahan dari UU sektoral lainnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Dalam diskusi, muncul bahwa UU PPMA harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini maka dampak buruk agresi pembangunan dapat dicegah. Saat ini ada UU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, dimana akan merampas tanah-tanah adat yang dianggap "tanah terlantar".
Dengan adanya UU PPMA, maka akan memperkuat NKRI dimasa mendatang. Karena UU ini merupakan solusi dari permasalahan-permasalahan di Negara yang Mega Bio and Cultural Diversity ini. Sekali lagi UUPPMA ini harus segera disahkan. Karena "kita tidak mungkin menghianati leluhur kita"
...
Konsultasi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai siapa masyarakat adat dan apa hak-haknya dalam Negara. Difasilitasi oleh Emil K dari Pusaka. Peserta konsultasi dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
1. Kelompok Pertama, mendiskusikan tentang Objek Hak Masayarakat Adat, Subjek dan jenis-jenis Hak yang harus diatur dalam UU natinya.
2. Kelompok Kedua mendiskusikan tentang Apa itu Hak Masyarakat Adat
3. Kelompok Ketiga, mendiskusikan Tata aturan / kedudukan Masyarakat Adat dalam Negara.
Setelah selesai, kemudian hasil-hasil diskusi kelompok dipleno-kan.
Konsultasi ditutup dengan tarian Labako yang dibawakan oleh mahasiswi UNEJ dari Jember. Tarian ini mengambarkan menceritakan aktivitas warga memanen dan mengolah Tembakau. Kemudian secara resmi, acara ditutup oleh Pembantu Rektor 3, Andan Alianto. Dilanjutkan dengan doa bersama. (ARS)
Penulis; Annas Radin Syarif
Foto kegiatan dapat dilihat di http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-0171-73c6-b772?lb
"Selamat datang delegasi masyarakat adat wilayah Jawa". Begitulah kira-kira kalimat spanduk yang membentang di pintu masuk Gedung Soetarjo, Universitas Negeri Jember (UNEJ).
Dari tanggal 2 - 3 Mei 2011, AMAN bekerjasama dengan UKM Kesenian UNEJ, menggelar Konsultasi Draft Naskah RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPMA) untuk wilayah Jawa. Hadir dalam konsultasi ini, 45 orang perwakilan dari Masyarakat adatjavascript:void(0) Using, Tengger, Kasepuhan Banten Kidul dan Parahyangan.
Kegiatan ini merupakan konsultasi region yang terakhir. Sebelumnya, AMAN telah melakukan kegiatan serupa di region Sumatera, Balinusra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Tujuannya untuk mendapatkan masukan dari Draft Naskah Akademik RUU PPMA dari komunitas masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Tari Gandrung dari Using menyambut peserta konsultasi, dimainkan oleh 2 Mahasiswi dari UKM Kesenian UNEJ. Bagi masyarakat Using, Tarian Gandrung dibawakan sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan panen mereka. Dalam bahasa Jawa Gandrung berarti "tergila-gila karena asmara" atau "mencintai" sangat (artikata.com). Kemudian Gandrung diartikan sebagai terpesonanya masyarakat agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan (sumber).
Kemudian, acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Dimulai dari Ketua Panitia yang dilanjutkan Ketua Umum UKM Kesenian. Dalam sambutannya, mereka senang bisa andil dalam acara ini sehingga bisa mengenal budaya-budaya di Indonesia, khususnya Jawa. Hal ini sangat membantu dalam kreasi seni mereka, untuk melestarikan warisan leluhur.
Kepala Dinas Pariwisata Jember, Arif Cahyono, dalam sambutannya mengatakan bahwa Jember merupakan "Dalung" atau tempat menampung dari masyarakat yang multiculture. Karena memang warga Jember sebagian besar berasal dari berbagai daerah sekitarnya yang mempunyai latar budaya yang berbeda-beda. Konon, Jember merupakan salah satu perlintasan dari kerajaan Majapahit. Banyak situs-situs dari Kerajaan Majapahit tersebar di kota "Tembakau" ini.
Arif mengatakan bahwa negara yang multiculture harus dijaga dan dilestarikan dari gilasan perubahan jaman. Jika tidak identitas bangsa akan hilang. Masyarakat Adat adalah ujung tombak dan pelaku pelestarian budaya yang menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Ketua PW AMAN Jawa, Muhtarom Sumakerti, dalam sambutannya mengatakan bahwa Konsultasi ini adalah upaya untuk penyempurnaan RUU PPMA menjadi bahan dasar dalam Undang-undang yang akan disahkan. Sehingga diperlukan masukan dari masyarakat adat tentang bentuk UU seperti apa yang cocok bagi mereka.
Pembantu Rektor 3, Andang Alianto, membuka secara resmi kegiatan ini. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa hasil dari konsultasi RUU ini harus dikawal dengan baik sampai menjadi UU. "Kalo tidak dikawal dengan baik, maka didalamnya justru akan merugikan masyarakat adat" kata Andang. Karena banyak kepentingan dalam proses-proses pengesahan sebuah UU di Legeslatif.
...
Setelah pembukaan, acara dimulai dengan Seminar tentang Draft RUU ini. Sebagai narasumber adalah Erasmus Cahyadi dari AMAN, Dominingus Ratu dosen Fak. Hukum UNEJ dan Arif Cahyono dari Dinas Pariwisata Jember.
Erasmus Cahyadi mengawali presentasi dengan membahas draft naskah akademik RUU PPMA. Eras menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dalam RUU ini adalah Partisipatif, Keadilan, Transparansi, Kesetaraan/non-diskriminasi, HAM dan Keberlanjutan Lingkungan. Sedangkan materi yang diatur adalah Definisi Masyarakat Adat, Kedudukan Masyarakat Adat dalam Negara, dan Hak-hak Masyarakat Adat. Hak-hak yang dimaksud diantaranya adalah Hak atas tanah dan sumberdaya alam, hak atas budaya, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak atas FPIC (Free, Prior and Inform Consent) yang salah satunya berhak menerima atau menerima proyek pembangunan dalam wilayah mereka.
Dominingus Ratu, sebagai pembahas mengatakan bahwa telah melakukan penelitian-penelitian tentang hak-hak masyarakat adat dibeberapa daerah. Berdasarkan pengamatan Dominingus, Negara ini sudah mengabaikan Masyarakat Adat. Mereka seolah-olah dianak tirikan oleh Negara ini. Dibuktikan dengan kasus-kasus tanah di Kemiren, Madura dan daerah lainnya yang tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Menurutnya, Masyarakat Adat mempunyai institusi dan pola penyelesaian dengan hukum adat. Namun hal ini justru sistem ini dihapus Negara dengan sistem lainnya, yang menyebabkan kewibawaan masyarakat adat tidak ada. Akibatnya, masalah yang ada tidak pernah diselesaikan.
Dominingus juga menyarankan sepaya lembaga yang ada di masyarakat adat supaya dihidupkan. Negara harus mengormati dan melindungi sistem yang ada ini. Bukan untuk dihilangkan. "Negoro mowo toto, Deso mowo coro" kata Dominingus. Negara punya hukum, desa juga punya adat istiadat.
Arif Cahyono, mengatakan bahwa perlu adanya konsistensi dari pemerintah untuk perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Pemerintah Daerah sebenarnya ada niatan untuk itu, tapi perlu payung hukum nasional yang jelas. "di Pemda sudah ada, tapi di Nasional belum ada. oleh karena itu banyak PEMDA yang sak karepe dewe. Ada inconsistensi dari Pemerintah" kata Arif.
Arif juga mengatakan bahwa masyarakat adat saat ini dipandang sebagai pelaku pelestari adat-istiadat dan budaya saja. Seharusnya, masyarakat adat juga harus dipandang sebagai sebagai pelaku pemerintahan pada subsisten yang lain.
Jika disahkan, RUU ini akan menjadi UU Revolutif. Artinya, menjadi dasar perubahan dari UU sektoral lainnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Dalam diskusi, muncul bahwa UU PPMA harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini maka dampak buruk agresi pembangunan dapat dicegah. Saat ini ada UU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, dimana akan merampas tanah-tanah adat yang dianggap "tanah terlantar".
Dengan adanya UU PPMA, maka akan memperkuat NKRI dimasa mendatang. Karena UU ini merupakan solusi dari permasalahan-permasalahan di Negara yang Mega Bio and Cultural Diversity ini. Sekali lagi UUPPMA ini harus segera disahkan. Karena "kita tidak mungkin menghianati leluhur kita"
...
Konsultasi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai siapa masyarakat adat dan apa hak-haknya dalam Negara. Difasilitasi oleh Emil K dari Pusaka. Peserta konsultasi dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
1. Kelompok Pertama, mendiskusikan tentang Objek Hak Masayarakat Adat, Subjek dan jenis-jenis Hak yang harus diatur dalam UU natinya.
2. Kelompok Kedua mendiskusikan tentang Apa itu Hak Masyarakat Adat
3. Kelompok Ketiga, mendiskusikan Tata aturan / kedudukan Masyarakat Adat dalam Negara.
Setelah selesai, kemudian hasil-hasil diskusi kelompok dipleno-kan.
Konsultasi ditutup dengan tarian Labako yang dibawakan oleh mahasiswi UNEJ dari Jember. Tarian ini mengambarkan menceritakan aktivitas warga memanen dan mengolah Tembakau. Kemudian secara resmi, acara ditutup oleh Pembantu Rektor 3, Andan Alianto. Dilanjutkan dengan doa bersama. (ARS)
Penulis; Annas Radin Syarif
Foto kegiatan dapat dilihat di http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-0171-73c6-b772?lb
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar