Hutan Desa, Siapa Cepat Rambah !?
Bogor|Kotahujan.com-Jelas sekali tergambar dalam film dokumenter itu, bagaimana masyarakat berjuang mendapatkan ruang kelola hutan. Hak kelola hutan oleh warga Suku Anak Dalam serta perjuangan mendapatkan hak yang serupa oleh kelompok masyarakat di tempat yang berbeda, melalui skema Hutan Desa. Film dokumenter yang diproduksi Telapak dan Gekko Studio itu menguatkan fakta 1.400 KK warga masyarakat Bathin IX di Kabupaten Batanghari, Jambi. Sejak 1986 telah kehilangan hutan dan lahan garapan mereka. Hutan turun-temurun Suku Anak Dalam ini telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Seperti PT. Asiatic Persada yang induknya berkantor di Singapura, Wilmar Group.
Mereka kini tak lagi bisa memanen buah rotan bernilai tinggi, seperti Jernang (Daemonorops draco). Warga Suku Anak Dalam lain yang hidup berpindah-pindah di Sungai Mendelang mengalami nasib yang serupa. Hutan tempat mereka berburu dan meramu kini berubah menjadi konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Lestari Asri Jaya (Barito Pacific Group).
“Kayu-kayu di sepanjang sungai ditebang semuanya oleh mereka. Besar kecil diambil oleh mereka, bagaimana hutan ini tidak habis. Sebab itulah hidup kami sengsara, tidak normal lagi. Mau memohon kepada raja-raja yang membuka hutan ini tidak dipedulikan,” papar Sukur, warga Suku Anak Dalam.
Di tempat yang berbeda, warga Desa Muara Merang di Sumatera Selatan dan Desa Serapung di Riau mengalami nasib yang agak lebih baik. Warga Muara Merang berjuang keras mendapatkan hak kelola pada hutan dan lahan seluas 7.250 hektar. Warga Serapung pun melakukan hal yang sama di kawasan ekosistem gambut Semenanjung Kampar. Keduanya memimpikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema Hutan Desa, untuk melindungi aset sumberdaya alamnya dari ancaman raksasa perusahaan HTI seperti grup Sinar Mas dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
“Masyarakat sangat mengharapkan hutan desa yang kami usulkan segera terwujud, sehingga kami lebih tenang dalam berusaha”, urai Jasman, Kepala Desa Serapung, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Potret desa-desa di masa lalu Sumatera sangat terasa ketika film membawa kita ke Desa Lubuk Beringin, Jambi. Sungai-sungai mengalir jernih, sawah, kebun dan warga desa yang beraktifitas di dalamnya. Kabut tipis pagi hari bergerak diantara dedaunan pohon besar di lereng bukit yang asri. Padahal sejak lama hutan asri tersebut telah diincar oleh berbagai perusahaan tambang batu bara. Namun, warga desa setempat tak ingin kalah cepat dengan perusahaan. Skema Hutan Desa yang mereka perjuangkan telah mereka dapatkan. Setidaknya mereka dapat mempertahankan hutannya hingga 35 tahun ke depan secara legal di Indonesia.
“Telapak mencoba memotret bagaimana perjuangan masyarakat sekitar hutan mendapatkan ruang hidup dan ruang kelola di tengah maraknya penguasaan lahan oleh industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan, salah satunya lewat hutan desa”, ulas Nanang Sujana, juru kampanye media Telapak, dalam rilisnya pada Kotahujan.com beberapa waktu lalu.
Mereka kini tak lagi bisa memanen buah rotan bernilai tinggi, seperti Jernang (Daemonorops draco). Warga Suku Anak Dalam lain yang hidup berpindah-pindah di Sungai Mendelang mengalami nasib yang serupa. Hutan tempat mereka berburu dan meramu kini berubah menjadi konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Lestari Asri Jaya (Barito Pacific Group).
“Kayu-kayu di sepanjang sungai ditebang semuanya oleh mereka. Besar kecil diambil oleh mereka, bagaimana hutan ini tidak habis. Sebab itulah hidup kami sengsara, tidak normal lagi. Mau memohon kepada raja-raja yang membuka hutan ini tidak dipedulikan,” papar Sukur, warga Suku Anak Dalam.
Di tempat yang berbeda, warga Desa Muara Merang di Sumatera Selatan dan Desa Serapung di Riau mengalami nasib yang agak lebih baik. Warga Muara Merang berjuang keras mendapatkan hak kelola pada hutan dan lahan seluas 7.250 hektar. Warga Serapung pun melakukan hal yang sama di kawasan ekosistem gambut Semenanjung Kampar. Keduanya memimpikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema Hutan Desa, untuk melindungi aset sumberdaya alamnya dari ancaman raksasa perusahaan HTI seperti grup Sinar Mas dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
“Masyarakat sangat mengharapkan hutan desa yang kami usulkan segera terwujud, sehingga kami lebih tenang dalam berusaha”, urai Jasman, Kepala Desa Serapung, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Potret desa-desa di masa lalu Sumatera sangat terasa ketika film membawa kita ke Desa Lubuk Beringin, Jambi. Sungai-sungai mengalir jernih, sawah, kebun dan warga desa yang beraktifitas di dalamnya. Kabut tipis pagi hari bergerak diantara dedaunan pohon besar di lereng bukit yang asri. Padahal sejak lama hutan asri tersebut telah diincar oleh berbagai perusahaan tambang batu bara. Namun, warga desa setempat tak ingin kalah cepat dengan perusahaan. Skema Hutan Desa yang mereka perjuangkan telah mereka dapatkan. Setidaknya mereka dapat mempertahankan hutannya hingga 35 tahun ke depan secara legal di Indonesia.
“Telapak mencoba memotret bagaimana perjuangan masyarakat sekitar hutan mendapatkan ruang hidup dan ruang kelola di tengah maraknya penguasaan lahan oleh industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan, salah satunya lewat hutan desa”, ulas Nanang Sujana, juru kampanye media Telapak, dalam rilisnya pada Kotahujan.com beberapa waktu lalu.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar