Permenhut dan Ancaman Deforestasi
Bogor|Kotahujan.com-Keluarnya peraturan baru Kementrian Kehutanan yang memperbolehkan kelapa sawit diusahakan di dalam kawasan hutan produksi tetap, dianggap sebagai kesalahan fatal. Kalangan LSM menilai kondisi ini bertolak belakang dengan semangat pelestarian, konservasi hutan dan perbaikan lingkungan yang didengungkan pemerintah. Permenhut No. P.62/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI) dikeluarkan 25 Agustus 2011 dan diundangkan pada 6 September 2011, telah memberi peluang adanya pembangunan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan produksi tetap. Sawit telah dimasukan sebagai salah satu jenis komoditas tanaman hutan tanaman industri (HTI). Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah disinyalir akan semakin rusak dengan dikeluarkannya aturan baru oleh Menteri Kehutanan karena memperbolehkan jenis tanaman kelapa sawit untuk diusahakan di dalam kawasan hutan produksi tetap.
Selama ini kelapa sawit hanya digolongkan sebagai komoditas perkebunan, bukan kehutanan. Kelapa sawit hanya boleh dikembangkan pada kawasan di luar kawasan hutan produksi tetap. Sejak sepuluh tahun terakhir telah terjadi penebangan hutan besar-besaran untuk kepentingan membangun kebun kelapa sawit.
”Selama ini kelapa sawit hanya boleh dikembangkan pada kawasan di luar kawasan hutan produksi tetap dan kawasan budidaya non-kehutanan,” papar Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak. LSM lingkungan yang berbasis di Bogor.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah terbesar penyumbang deforestasi di Indonesia. Sumbangan terbesar deforestasi tersebut adalah aktivitas pembangunan kebun kelapa sawit. Data ini didukung kajian Telapak terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Dalam kajiannya, Telapak menemukan 97 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang arealnya tumpang tindih dengan kawasan hutan tempat diberlakukannya moratorium ijin eksploitasi.
Telapak memperkirakan luasnya mencapai 900.000 hektar. Temuan ini memperkuat temuan Telapak sebelumnya yang mengungkap praktek penebangan di zona moratorium oleh perusahaan perkebunan sawit Malaysia. Dalam laporannya Juni 2011 berjudul “Menjambret REDD”, terungkap praktek penebangan hutan tepat di hari yang sama saat inpres moratorium diterapkan.
Berbekal temuan ini, Telapak mengkritik munculnya Permenhut 62/2011. Permenhut tersebut dianggap membuka peluang terjadinya deforestasi yang lebih besar di Kalimantan Tengah. Permenhut ini juga dianggap mengabaikan pemberlakuan moratorium.
“Ratusan ribu hektar kawasan hutan yang terancam kebun sawit di Kalteng bukanlah hal sepele. Keluarnya Permenhut ini sama artinya dengan membuat ancaman deforestasi itu menjadi nyata. Ini artinya juga menyepelekan instruksi Presiden”, ujar Abu Meridian.
Selama ini kelapa sawit hanya digolongkan sebagai komoditas perkebunan, bukan kehutanan. Kelapa sawit hanya boleh dikembangkan pada kawasan di luar kawasan hutan produksi tetap. Sejak sepuluh tahun terakhir telah terjadi penebangan hutan besar-besaran untuk kepentingan membangun kebun kelapa sawit.
”Selama ini kelapa sawit hanya boleh dikembangkan pada kawasan di luar kawasan hutan produksi tetap dan kawasan budidaya non-kehutanan,” papar Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak. LSM lingkungan yang berbasis di Bogor.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah terbesar penyumbang deforestasi di Indonesia. Sumbangan terbesar deforestasi tersebut adalah aktivitas pembangunan kebun kelapa sawit. Data ini didukung kajian Telapak terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Dalam kajiannya, Telapak menemukan 97 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang arealnya tumpang tindih dengan kawasan hutan tempat diberlakukannya moratorium ijin eksploitasi.
Telapak memperkirakan luasnya mencapai 900.000 hektar. Temuan ini memperkuat temuan Telapak sebelumnya yang mengungkap praktek penebangan di zona moratorium oleh perusahaan perkebunan sawit Malaysia. Dalam laporannya Juni 2011 berjudul “Menjambret REDD”, terungkap praktek penebangan hutan tepat di hari yang sama saat inpres moratorium diterapkan.
Berbekal temuan ini, Telapak mengkritik munculnya Permenhut 62/2011. Permenhut tersebut dianggap membuka peluang terjadinya deforestasi yang lebih besar di Kalimantan Tengah. Permenhut ini juga dianggap mengabaikan pemberlakuan moratorium.
“Ratusan ribu hektar kawasan hutan yang terancam kebun sawit di Kalteng bukanlah hal sepele. Keluarnya Permenhut ini sama artinya dengan membuat ancaman deforestasi itu menjadi nyata. Ini artinya juga menyepelekan instruksi Presiden”, ujar Abu Meridian.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar