Dari Bedah Buku Puisi “Mendaki Kantung Matamu”
Sastra di kota Bogor kembali menyeruak. Setelah sebelumnya teater Karoeng melalui “Ruas Diksi”-nya . Kali ini giliran HIMSINA (Himpunan Mahasiswa Satra Indonesia Universitas Pakuan) menggelar Diskusi Bedah Buku Puisi “Mendaki Kantung Matamu”, karya Bode Riswandi dengan bertempat di R. Mashudi, lantai III gedung Fakultas Sastra Unpak, pada sabtu (3/4) mulai pukul 10.00 sampai 13.00 Wib. Untuk kegiatan ini HIMSINA bekerjasama dengan Ruang 8 Jurnal Bogor.
Puluhan peminat sastra, baik mahasiswa UNPAK dan peserta dari umum tampak memadati ruang diskusi. Dengan menghadirkan narasumber seperti Dadan Suwarna, Prih Suharto dan Bode Riswandi. Sementara jalannya diskusi dimoderatori Dony PH, tokoh muda penggiat sastra di kota Bogor.
Menurut A Fajriansyah ketua HIMSINA, pihaknya menggelar diskusi dengan menghadirkan Bode Riswandi dan pembicara lain dengan maksud untuk menggiatkan aktivitas sastra di kampus UNPAK.
Prih Suharto dalam paparannya melihat konteks karya-karya Bode pada “Mendaki Kantung Matamu” terdapat sebuah perkembangan kepenyairan. Terutama pada tahapan-tahapan 2001, 2002, 2004 dan seterusnya. Beliau melihat pada tahun 2009, beberapa penyair sudah menunjukkan kematangannya. Termasuk Bode Riswandi, Prih melihat puisi Bode di tahun 2009 tidak lagi spontan, sudah mencoba mengatur apa yang akan dikatakannya.
Sedangkan Dadan Suwarna mengomentari pemahaman “angkatan” sebagai – isme, padahal itu merupakan periodesasi sebuah karya yang sebenarnya merupakan kerjaan kritikus sastra. Seharusnya tidak jadi masalah kalau kita tidak ada didalamnya. Ia juga menekankan pentingnya pada gaya penyair, menurutnya penyair harus memiliki gaya sendiri. Terlepas ada kesamaan dengan penyair lain adalah sebuah proses, tetapi pelaku pada akhirnya harus menemukan gayanya sendiri.
Dalam proses kreatifnya Bode mengakui terinspirasi dari berbagai penyair idolanya semisal Acep Zamzam Noor, Rendra dan penyair lainnya. Karena sebelum sampai pada proses penulisan puisi, Bode lebih dulu membaca karya-karya yang sudah ada. Tak salah jika banyak pegamat yang menilai ada kesamaan gaya karya dengan idolanya. Sampai saat ini Bode juga mengakui masih terus mencari karakter khas-nya sendiri.
Puluhan peminat sastra, baik mahasiswa UNPAK dan peserta dari umum tampak memadati ruang diskusi. Dengan menghadirkan narasumber seperti Dadan Suwarna, Prih Suharto dan Bode Riswandi. Sementara jalannya diskusi dimoderatori Dony PH, tokoh muda penggiat sastra di kota Bogor.
Menurut A Fajriansyah ketua HIMSINA, pihaknya menggelar diskusi dengan menghadirkan Bode Riswandi dan pembicara lain dengan maksud untuk menggiatkan aktivitas sastra di kampus UNPAK.
Prih Suharto dalam paparannya melihat konteks karya-karya Bode pada “Mendaki Kantung Matamu” terdapat sebuah perkembangan kepenyairan. Terutama pada tahapan-tahapan 2001, 2002, 2004 dan seterusnya. Beliau melihat pada tahun 2009, beberapa penyair sudah menunjukkan kematangannya. Termasuk Bode Riswandi, Prih melihat puisi Bode di tahun 2009 tidak lagi spontan, sudah mencoba mengatur apa yang akan dikatakannya.
Sedangkan Dadan Suwarna mengomentari pemahaman “angkatan” sebagai – isme, padahal itu merupakan periodesasi sebuah karya yang sebenarnya merupakan kerjaan kritikus sastra. Seharusnya tidak jadi masalah kalau kita tidak ada didalamnya. Ia juga menekankan pentingnya pada gaya penyair, menurutnya penyair harus memiliki gaya sendiri. Terlepas ada kesamaan dengan penyair lain adalah sebuah proses, tetapi pelaku pada akhirnya harus menemukan gayanya sendiri.
Dalam proses kreatifnya Bode mengakui terinspirasi dari berbagai penyair idolanya semisal Acep Zamzam Noor, Rendra dan penyair lainnya. Karena sebelum sampai pada proses penulisan puisi, Bode lebih dulu membaca karya-karya yang sudah ada. Tak salah jika banyak pegamat yang menilai ada kesamaan gaya karya dengan idolanya. Sampai saat ini Bode juga mengakui masih terus mencari karakter khas-nya sendiri.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar