Masyarakat Pesisir Sadar Bencana
Jakarta|Kotahujan.com-Indonesia terletak di atas pertemuan empat lempeng besar bumi yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Australia. Tak heran jika Indonesia menjadi pelanggan gempa dan tsunami. Berdasarkan data BMKG, pada periode 1992 hingga Oktober 2010, Indonesia mengalami 27 kali gempa yang merusak, 12 di antaranya diikuti tsunami. Namun, setiap kali gelombang raksasa itu datang, setiap kali pula korban jiwa dan kerugian aset dalam jumlah besar tak terhindarkan. Padahal sejak awal seharusnya bangsa ini mawas agar lebih tanggap bencana. Hal ini penting mengingat setiap terjadi bencana koordinasi dan penanganan bencana terkesan amburadul. Perlu penyadaran bersama tanpa harus saling mengeluarkan komentar tak populer.
Ada lima parameter untuk menilai kesiapsiagaan masyarakat menghadapi tsunami, yaitu adanya pengetahuan dan sikap, adanya kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana, serta kapasitas mobilisasi sumber daya. Demikian pernyataan Irina Rafliana, Koordinator Community Preparedness Program LIPI yang juga Koordinator Kerjasama Indonesia-Jepang dalam Mereduksi Risiko Gempa dan Gunung Berapi. Saat membahas masalah ini dalam Workshop Mitigasi Bencana di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diadakan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) beberapa waktu lalu (27/10). Menurutnya kesiapsiagaan ini seharusnya diadopsi secara menyeluruh dan merata hingga tingkat kecamatan. Untuk itu pemerintah daerah perlu bermitra dengan universitas dan komunitas yang ada di daerah, serta sekolah-sekolah. Dalam workshop tersebut juga disampaikan sosialisasi PP No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
PP No 64 Tahun 2010 menyebutkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam mitigasi bencana. Kegiatan mitigasi terdiri atas kegiatan bersifat struktur/ fisik dan kegiatan non struktur/ non fisik. Untuk tsunami, kegiatan fisiknya meliputi penyediaan sistem peringatan dini, penggunaan bangunan peredam tsunami, penyediaan fasilitas penyelamatan diri, konstruksi bangunan ramah tsunami, penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, vegetasi pantai, juga pengelolaan ekosistem pesisir. Sementara itu kegiatan non fisik meliputi penyusunan peraturan perundang-undangan. penyusunan peta rawan bencana, penyusunan peta risiko bencana, penyusunan amdal, penyusunan tata ruang, penyusunan zonasi, dan pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.
Peran pemerintah daerah menjadi sangat penting, terutama dalam penyusunan peta risiko dan sosialisasi kesiapsiagaan pada masyarakat umum. Karena kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat yang berbeda-beda. Tingkat risiko merupakan perpaduan antara tingkat kerawanan bencana dengan tingkat kerentanan. Sebagai contoh, daerah yang komposisi perempuan, anak-anak dan manulanya besar akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi. Daerah yang ekonomi masyarakatnya lebih baik dan pendidikannya lebih tinggi, tingkat kerentanannya menjadi rendah. Peran pemerintah ini menurut Asisten Deputi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pemerintah Kemenristek, Priatmono, adalah lebih besar tanggung jawabnya. Pemerintah pusat bertanggung jawab dalam penyediaan sarana mitigasi secara fisik, sedangkan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab menjaga sarana mitigasi fisik tersebut dan mensosialisasikan penggunaannya pada masyarakat.
Beberapa kejadian menunjukkan bahwa sirine peringatan tsunami tidak bekerja efektif. Kadang berbunyi tanpa ada tsunami, kadang berbunyi tapi jaraknya sangat dekat dengan datangnya tsunami. Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang berada di kawasan pesisir disarankan untuk segera lari menuju tempat tinggi dan melakukan penyelamatan diri ketika ada gempa, walaupun sirine tidak berbunyi. Penting diketahui bahwa tsunami tidak selalu diawali dengan surutnya air laut, dan tsunami yang terjadi di suatu wilayah pesisir bisa menjalar ke pesisir lainnya yang sebelumnya tampak aman. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh CDIT ( Coastal Development Institute and Technology) Jepang menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenali gejala tsunami dan cara menyelamatkan diri terbukti mengurangi jumlah korban meninggal dalam skala besar.
Upaya penyelamatan diri masyarakat tentu saja harus difasilitasi oleh pemerintah. Beberapa daerah telah mulai menata diri agar dampak tsunami dapat diminimalkan. Contohnya di kota Painan Sumatera Barat. Menurut Direktur Pesisir dan Lautan KKP Subandono Diposaptono, yang juga membantu proses pembangunan sarana mitigasi bencana Painan. Kota ini telah memetakan risiko bencana dan membangun fasilitas mitigasi fisik, termasuk jalur evakuasi ke perbukitan yang mengelilingi kota. Patut diharapkan ke depan semakin banyak pemerintah daerah yang bersiap diri. Pembangunan pasca bencana seperti di Mentawai juga harus belajar dari pengalaman, agar rekonstruksi efektif mengantisipasi bencana di masa mendatang.
Ada lima parameter untuk menilai kesiapsiagaan masyarakat menghadapi tsunami, yaitu adanya pengetahuan dan sikap, adanya kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana, serta kapasitas mobilisasi sumber daya. Demikian pernyataan Irina Rafliana, Koordinator Community Preparedness Program LIPI yang juga Koordinator Kerjasama Indonesia-Jepang dalam Mereduksi Risiko Gempa dan Gunung Berapi. Saat membahas masalah ini dalam Workshop Mitigasi Bencana di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diadakan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) beberapa waktu lalu (27/10). Menurutnya kesiapsiagaan ini seharusnya diadopsi secara menyeluruh dan merata hingga tingkat kecamatan. Untuk itu pemerintah daerah perlu bermitra dengan universitas dan komunitas yang ada di daerah, serta sekolah-sekolah. Dalam workshop tersebut juga disampaikan sosialisasi PP No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
PP No 64 Tahun 2010 menyebutkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam mitigasi bencana. Kegiatan mitigasi terdiri atas kegiatan bersifat struktur/ fisik dan kegiatan non struktur/ non fisik. Untuk tsunami, kegiatan fisiknya meliputi penyediaan sistem peringatan dini, penggunaan bangunan peredam tsunami, penyediaan fasilitas penyelamatan diri, konstruksi bangunan ramah tsunami, penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, vegetasi pantai, juga pengelolaan ekosistem pesisir. Sementara itu kegiatan non fisik meliputi penyusunan peraturan perundang-undangan. penyusunan peta rawan bencana, penyusunan peta risiko bencana, penyusunan amdal, penyusunan tata ruang, penyusunan zonasi, dan pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.
Peran pemerintah daerah menjadi sangat penting, terutama dalam penyusunan peta risiko dan sosialisasi kesiapsiagaan pada masyarakat umum. Karena kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat yang berbeda-beda. Tingkat risiko merupakan perpaduan antara tingkat kerawanan bencana dengan tingkat kerentanan. Sebagai contoh, daerah yang komposisi perempuan, anak-anak dan manulanya besar akan memiliki kerentanan yang lebih tinggi. Daerah yang ekonomi masyarakatnya lebih baik dan pendidikannya lebih tinggi, tingkat kerentanannya menjadi rendah. Peran pemerintah ini menurut Asisten Deputi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pemerintah Kemenristek, Priatmono, adalah lebih besar tanggung jawabnya. Pemerintah pusat bertanggung jawab dalam penyediaan sarana mitigasi secara fisik, sedangkan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab menjaga sarana mitigasi fisik tersebut dan mensosialisasikan penggunaannya pada masyarakat.
Beberapa kejadian menunjukkan bahwa sirine peringatan tsunami tidak bekerja efektif. Kadang berbunyi tanpa ada tsunami, kadang berbunyi tapi jaraknya sangat dekat dengan datangnya tsunami. Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang berada di kawasan pesisir disarankan untuk segera lari menuju tempat tinggi dan melakukan penyelamatan diri ketika ada gempa, walaupun sirine tidak berbunyi. Penting diketahui bahwa tsunami tidak selalu diawali dengan surutnya air laut, dan tsunami yang terjadi di suatu wilayah pesisir bisa menjalar ke pesisir lainnya yang sebelumnya tampak aman. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh CDIT ( Coastal Development Institute and Technology) Jepang menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenali gejala tsunami dan cara menyelamatkan diri terbukti mengurangi jumlah korban meninggal dalam skala besar.
Upaya penyelamatan diri masyarakat tentu saja harus difasilitasi oleh pemerintah. Beberapa daerah telah mulai menata diri agar dampak tsunami dapat diminimalkan. Contohnya di kota Painan Sumatera Barat. Menurut Direktur Pesisir dan Lautan KKP Subandono Diposaptono, yang juga membantu proses pembangunan sarana mitigasi bencana Painan. Kota ini telah memetakan risiko bencana dan membangun fasilitas mitigasi fisik, termasuk jalur evakuasi ke perbukitan yang mengelilingi kota. Patut diharapkan ke depan semakin banyak pemerintah daerah yang bersiap diri. Pembangunan pasca bencana seperti di Mentawai juga harus belajar dari pengalaman, agar rekonstruksi efektif mengantisipasi bencana di masa mendatang.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar