Saat Birokrasi Menghambat Bantuan
Merapi|Kotahujan.com-Pada setiap kejadian bencana di negeri kita (Indonesia), persoalan manajemen penanganan bencana selalu saja menjadi sorotan. Baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok relawan yang ada. Masalah pengelolaan korban manusia, pengaturan relawan sampai dengan masalah bantuan sering berbenturan dengan masalah teknis. Niatan mulia untuk meringankan beban korban bencana pun menjadi terhambat. Distribusi bantuan yang tidak merata hingga bentuk bantuan yang tidak tepat sasaran, senantiasa menjadi laporan para relawan yang ada dilapangan. Sebagaimana dilaporkan Jalin Merapi (Jaringan Informasi Lingkar Merapi), media informasi relawan sejumlah radio komunitas di lingkar Merapi.
Distribusi bantuan bagi korban bencana alam Merapi dilaporkan tidak merata. Bantuan yang datang dari para donatur kebanyakan terpusat di Sleman. Dukungan akses yang mudah dijangkau dari kota Jogja, hingga keberadaan tempat bermukim sang juru kunci Merapi menjadi magnet aliran bantuan tersebut. Bahkan daya tarik ini juga memikat untuk diliput media, sehingga turut memengaruhi bantuan tersebut terpusat di wilayah Sleman. Kondisi ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi korban bencana Merapi yang berada di wilayah lain (Magelang, Klaten, dan Boyolali). Jalin Merapi (JM) melaporkan bantuan di tiga wilayah di luar Sleman minim, di beberapa posko pengungsian pengelolaan posko masih bersifat swadaya. Pengungsi memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi ini ditambah dengan birokrasi yang menghambat proses distribusi bantuan pada pengungsi.
Terhambatnya distribusi bantuan inilah yang membuat kelangkaan bantuan di posko pengungsian, padahal bantuan itu menumpuk di gudang. Menurut relawan JM, sebagaimana dirilis http://merapi.combine.or.id, gudang logistik Pemkab Magelang sejatinya memiliki stok yang berlebih, namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan pengungsi karena birokrasinya tidak mudah untuk mengeluarkannya. Tentu saja hal ini menambah beban penderitaan para pengungsi. Apabila bantuan tidak segera datang, maka para pengungsi harus lebih lama bertahan dalam keadaan seadanya. Kondisi berbeda terjadi menjelang kedatangan pejabat pemerintah, posko yang menjadi tujuan kedatangan pejabat tersebut dipenuhi bantuan. Kejadian ini terjadi di TPS Muntilan yang menjadi salah satu lokasi kunjungan Presiden SBY. Belum lagi kedatangan pejabat ke lokasi pengungsian juga menghambat jalannya distribusi bantuan. Protokoler mengatur jalanan yang dilewati rombongan pejabat disterilkan dari kegiatan apapun. Termasuk proses distribusi logistik, akibatnya cukup jelas logistikpun terlambat datang di lokasi pengungsian.
Negoro, Salah satu relawan JM menuliskan, seharusnya pemerintah malu dan belajar banyak dari kesigapan masyarakat yang tanggap bencana, tanpa birokrasi yang berbelit - belit, tanpa protokoler jalan dan tanpa perlu diliput oleh media besar. Mereka berusaha membantu korban bencana tanpa embel-embel. Jika penanganan bencana masih dengan birokrasi yang rumit, citra buruk pemerintah akan terus terjaga di mata rakyat.
(Dikutip dari tulisan yang dirilis relawan Jalin Merapi : Negoro)
Distribusi bantuan bagi korban bencana alam Merapi dilaporkan tidak merata. Bantuan yang datang dari para donatur kebanyakan terpusat di Sleman. Dukungan akses yang mudah dijangkau dari kota Jogja, hingga keberadaan tempat bermukim sang juru kunci Merapi menjadi magnet aliran bantuan tersebut. Bahkan daya tarik ini juga memikat untuk diliput media, sehingga turut memengaruhi bantuan tersebut terpusat di wilayah Sleman. Kondisi ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi korban bencana Merapi yang berada di wilayah lain (Magelang, Klaten, dan Boyolali). Jalin Merapi (JM) melaporkan bantuan di tiga wilayah di luar Sleman minim, di beberapa posko pengungsian pengelolaan posko masih bersifat swadaya. Pengungsi memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi ini ditambah dengan birokrasi yang menghambat proses distribusi bantuan pada pengungsi.
Terhambatnya distribusi bantuan inilah yang membuat kelangkaan bantuan di posko pengungsian, padahal bantuan itu menumpuk di gudang. Menurut relawan JM, sebagaimana dirilis http://merapi.combine.or.id, gudang logistik Pemkab Magelang sejatinya memiliki stok yang berlebih, namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan pengungsi karena birokrasinya tidak mudah untuk mengeluarkannya. Tentu saja hal ini menambah beban penderitaan para pengungsi. Apabila bantuan tidak segera datang, maka para pengungsi harus lebih lama bertahan dalam keadaan seadanya. Kondisi berbeda terjadi menjelang kedatangan pejabat pemerintah, posko yang menjadi tujuan kedatangan pejabat tersebut dipenuhi bantuan. Kejadian ini terjadi di TPS Muntilan yang menjadi salah satu lokasi kunjungan Presiden SBY. Belum lagi kedatangan pejabat ke lokasi pengungsian juga menghambat jalannya distribusi bantuan. Protokoler mengatur jalanan yang dilewati rombongan pejabat disterilkan dari kegiatan apapun. Termasuk proses distribusi logistik, akibatnya cukup jelas logistikpun terlambat datang di lokasi pengungsian.
Negoro, Salah satu relawan JM menuliskan, seharusnya pemerintah malu dan belajar banyak dari kesigapan masyarakat yang tanggap bencana, tanpa birokrasi yang berbelit - belit, tanpa protokoler jalan dan tanpa perlu diliput oleh media besar. Mereka berusaha membantu korban bencana tanpa embel-embel. Jika penanganan bencana masih dengan birokrasi yang rumit, citra buruk pemerintah akan terus terjaga di mata rakyat.
(Dikutip dari tulisan yang dirilis relawan Jalin Merapi : Negoro)
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar