Penguasaan Ruang Berpihak Pada Agenda Investasi
Baranangsiang|Kotahujan.com-Bicara soal 'ruang' yang berkeadilan, sepertinya masih jauh untuk dinikmati secara layak segenap masyarakat Indonesia. Ruang sudah menjadi kepentingan ekonomi yang nyata-nyata berlaku hukum siapa yang kuat dia menang. Penguasaan ruang oleh sebuah kelompok tertentu pada akhirnya memunculkan rasa tidak adil. Penguasaan tanah oleh kelompok modal kuat yang menggeser tanah adat, penguasaan hutan dan lahan oleh pemerintah ataupun kebijakan ruang yang kerap kali menjadi agenda untuk memuluskan investasi. Hal ini menjadi kegelisahan beberapa aktivis LSM dan pemerhati lainnya sebagaimana terkuak dalam Seminar Nasional “Politik Penguasaan Ruang Berkeadilan”, IPB International Convention Center (IICC) Selasa (25/1) lalu.
Seminar yang digalang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipasif (JKPP) ini bertujuan mengajak semua pihak untuk mencermati proses-proses penguasaan ruang. Karena berdasarkan pengalaman JKPP penguasaan ruang saat ini sangatlah tidak adil, hanya dikuasai oleh segelintir orang tertentu.
“Tidak bicara soal teknis saja tetapi bicara soal ideologi bagaimana penguasaan ruang itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sangat terbatas”, ungkap Kasmita Widodo, Executive Director JKPP.
Secara sederhana masalah ruang ini bisa dilihat dari soal tanah. Bagaimana ijin investasi perkebunan sawit, tambang, penguasaan hutan semuanya membutuhkan tanah yang sangat luas yang notabene merupakan ruang hidup masyarakat setempat, tetapi dengan agenda investasi dan politik ruang 'mereka' menguasai tanah-tanah tersebut.
“Politik yang terjadi saat ini adalah politik perampasan tanah rakyat”.
Diharapkaan isu ini akan menjadi arus utama disemua gerakan sosial masyarakat sipil, sudah saatnya mengkonsolidasi menampilkan semua pelanggaran dan agenda perampasan tanah tersebut. Serta mendorong untuk mempromosikan penguasaan ruang oleh rakyat dengan pemetaan partisipasif. Membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola ruang yang berkeadilan dengan arif dan berkelanjutan dan menolak anggapan bahwa masyarakat tidak mampu menyusun tata ruang. Pemerintah daerah harus mulai terbuka dan mau melibatkan peran masyarakat sipil dalam penataan ruang.
“Terlepas dari kelemahan UU yang ada, sekarang ada peluang besar setiap penyusunan RTRW peran masyarakat bisa mengajukan somasi atas pengusulan RTRW ”, Beber Ernan Rustiadi, salah satu pembicara seminar.
Seminar dibagi dalam dua sesi, pertama membahas Quo Vadis Politik Ruang di Indonesia dengan pembicara Dr. Ernan Rustiadi (P4W IPB), Chalid Muhammad (Institute Hijau Indonesia), Idham Arsyad (Konsorsiaum Pembaruan Agraria) dan moderator YL. Franky (PUSAKA). Seminar sesi kedua Menyoroti Akuisisi Tanah untuk Tujuan Komersial dengan pembicara Dr. Laksmi A. Savitri (Sayogyo Institue), Budiman Sudjatmiko M.Sc, M.Phil (Anggota Komisi II DPR RI), Abdon Nababan (Sekjen AMAN) dan moderator Abetnego Tarigan (Sawit Watch).
Dr. Laksmi A. Savitri dari Sayogyo Institue dalam uraiannya mengungkap imperialisme baru pada persoalan akuisisi tanah untuk tanaman pangan melalui embaga-lembaga internasional yang ditengarai terlibat dalam agenda investasi ini.
“Yang terjadi pada persoalan pangan, negara harus terus menerus menanam tanaman pangan yang dikonsumsi negara maju akhirnya tanaman pangannya sendiri diganti dengan tanaman ekspor”, papar Laksmi.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko memaparkan bahwa penguasaan ini merupakan fenomena yang terjadi sudah lama dimana negara dibuat tergantung dengan hutang, teknologi, dan sebagainya. Termasuk ketergantungan referensi intelektual. Pada era Globalisasi ini tidak saja digantung tetapi ditelan dengan paham liberalisme secara kultural hingga ke ranah politik, makanan yang diseragamkan. Ruang-pun sukses mereka mainkan, kebebasan politik hanya dinikmati oleh kekuatan besar yang siap saja. Lebih dari 21 tahun reformasi kebebasan yang sekarang tidak mencerminkan tujuan awal reformasi, yaitu untuk kesejahteraan rakyat.
“Buktinya dari 16 lembar Undang-Undang yang menyangkut tani dan tanah, hanya ada satu Undang-Undang yang berpihak pada petani. Itupun bukan produk reformasi 98, tetapi merupakan produk revolusi yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Selebihnya yang menyangkut pertanian, kehutanan, pengairan dan segala macam menurut saya tidak berpihak pada petani”, tegas Budiman.
Terkait masalah tanah adat, Sekjen Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menegaskan, tidak bisa kita pisahkan identitas seseorang dengan wilayah adatnya dengan sistem nilai dan pengetahuan yang hidup ratusan tahun dan juga aturan-aturan yang berkembang disana. Tanah wilayah adat bukan sekedar ikatan kultural saja tetapi sudah merupakan ikatan spiritual.
“Yang terjadi sistem penguasaan di wilayah adat dibuat sedemikian rupa agar ikatan seseorang dengan leluhurnya putus, sehingga tanah menjadi barang atau komoditi”, beber Abdon.
Seminar yang digalang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipasif (JKPP) ini bertujuan mengajak semua pihak untuk mencermati proses-proses penguasaan ruang. Karena berdasarkan pengalaman JKPP penguasaan ruang saat ini sangatlah tidak adil, hanya dikuasai oleh segelintir orang tertentu.
“Tidak bicara soal teknis saja tetapi bicara soal ideologi bagaimana penguasaan ruang itu dilakukan oleh pihak-pihak yang sangat terbatas”, ungkap Kasmita Widodo, Executive Director JKPP.
Secara sederhana masalah ruang ini bisa dilihat dari soal tanah. Bagaimana ijin investasi perkebunan sawit, tambang, penguasaan hutan semuanya membutuhkan tanah yang sangat luas yang notabene merupakan ruang hidup masyarakat setempat, tetapi dengan agenda investasi dan politik ruang 'mereka' menguasai tanah-tanah tersebut.
“Politik yang terjadi saat ini adalah politik perampasan tanah rakyat”.
Diharapkaan isu ini akan menjadi arus utama disemua gerakan sosial masyarakat sipil, sudah saatnya mengkonsolidasi menampilkan semua pelanggaran dan agenda perampasan tanah tersebut. Serta mendorong untuk mempromosikan penguasaan ruang oleh rakyat dengan pemetaan partisipasif. Membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola ruang yang berkeadilan dengan arif dan berkelanjutan dan menolak anggapan bahwa masyarakat tidak mampu menyusun tata ruang. Pemerintah daerah harus mulai terbuka dan mau melibatkan peran masyarakat sipil dalam penataan ruang.
“Terlepas dari kelemahan UU yang ada, sekarang ada peluang besar setiap penyusunan RTRW peran masyarakat bisa mengajukan somasi atas pengusulan RTRW ”, Beber Ernan Rustiadi, salah satu pembicara seminar.
Seminar dibagi dalam dua sesi, pertama membahas Quo Vadis Politik Ruang di Indonesia dengan pembicara Dr. Ernan Rustiadi (P4W IPB), Chalid Muhammad (Institute Hijau Indonesia), Idham Arsyad (Konsorsiaum Pembaruan Agraria) dan moderator YL. Franky (PUSAKA). Seminar sesi kedua Menyoroti Akuisisi Tanah untuk Tujuan Komersial dengan pembicara Dr. Laksmi A. Savitri (Sayogyo Institue), Budiman Sudjatmiko M.Sc, M.Phil (Anggota Komisi II DPR RI), Abdon Nababan (Sekjen AMAN) dan moderator Abetnego Tarigan (Sawit Watch).
Dr. Laksmi A. Savitri dari Sayogyo Institue dalam uraiannya mengungkap imperialisme baru pada persoalan akuisisi tanah untuk tanaman pangan melalui embaga-lembaga internasional yang ditengarai terlibat dalam agenda investasi ini.
“Yang terjadi pada persoalan pangan, negara harus terus menerus menanam tanaman pangan yang dikonsumsi negara maju akhirnya tanaman pangannya sendiri diganti dengan tanaman ekspor”, papar Laksmi.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko memaparkan bahwa penguasaan ini merupakan fenomena yang terjadi sudah lama dimana negara dibuat tergantung dengan hutang, teknologi, dan sebagainya. Termasuk ketergantungan referensi intelektual. Pada era Globalisasi ini tidak saja digantung tetapi ditelan dengan paham liberalisme secara kultural hingga ke ranah politik, makanan yang diseragamkan. Ruang-pun sukses mereka mainkan, kebebasan politik hanya dinikmati oleh kekuatan besar yang siap saja. Lebih dari 21 tahun reformasi kebebasan yang sekarang tidak mencerminkan tujuan awal reformasi, yaitu untuk kesejahteraan rakyat.
“Buktinya dari 16 lembar Undang-Undang yang menyangkut tani dan tanah, hanya ada satu Undang-Undang yang berpihak pada petani. Itupun bukan produk reformasi 98, tetapi merupakan produk revolusi yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Selebihnya yang menyangkut pertanian, kehutanan, pengairan dan segala macam menurut saya tidak berpihak pada petani”, tegas Budiman.
Terkait masalah tanah adat, Sekjen Aliansi masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menegaskan, tidak bisa kita pisahkan identitas seseorang dengan wilayah adatnya dengan sistem nilai dan pengetahuan yang hidup ratusan tahun dan juga aturan-aturan yang berkembang disana. Tanah wilayah adat bukan sekedar ikatan kultural saja tetapi sudah merupakan ikatan spiritual.
“Yang terjadi sistem penguasaan di wilayah adat dibuat sedemikian rupa agar ikatan seseorang dengan leluhurnya putus, sehingga tanah menjadi barang atau komoditi”, beber Abdon.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar