CSF : Pertemuan Bangkok Tak Menyentuh Krisis Iklim
Jakarta|Kotahujan.com-Pertemuan negara-negara terkait perubahan iklim usai di gelar di Bangkok awal April lalu. Pertemuan yang berlangsung singkat pada 3-8 April 2011, merupakan lanjutan konferensi iklim yang berlangsung di Cancun Meksiko, Desember tahun lalu. Hasil dari pertemuan ini meski sudah teragendakan sebelumnya tetap membuat khawatir beberapa pihak yang concern terhadap perubahan iklim di Indonesia. Terbukti dengan keluarnya kesepakatan yang dianggap jauh dari prinsip keadilan iklim.
"Pertemuan Bangkok tak banyak membicarakan bagaimana membantu adaptasi warga, sebagian besar agenda mendiskusikan bagaimana mengurangi emisi gas rumah kaca, yang harusnya tanggung jawab utama negara industri maju", ujar Teguh Surya dari WALHI.
Pernyataan delegasi Indonesia yang optimis terhadap hasil-hasil United Nations Climate Change Conference (UNCCC) dianggap sebagai sesuatu yang tidak pas. Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF) memandang subtansi negosiasi tak menjadi rekomendasi resmi perundingan karena minimnya waktu. Ditambah dengan rendahnya komitmen negara industri maju untuk mengurangi emisi dengan alasan krisis ekonomi dan bencana ekologis yang kerap menimpa. Ada prediksi jika pertemuan lanjutan di Durban menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab Negara berkembang. Fenomenanya di ujung putaran pertama berlakunya protokol Kyoto (16 Februari 2005 hinga 2012), terjadi pergeseran negara-negara industri maju yang harusnya mengurangi emisinya dalam jumlah drastis, kini berbalik. Negara berkembang yang justru sukarela menyatakan komitmennya menurunkan emisi dengan bantuan pendanaan negara industri maju.
Kegagalan Indonesia menjadikan wakilnya anggota Komite transisi Green Climate Fund mewakili Asia, menambah daftar keprihatinan komposisi anggota yang duduk dalam Green Climate fund (GCF) tak lagi independen. Kenyataannya GCF didominasi kepentingan Bank dunia dan Bank multilateral lainnya.
Sebagian besar respon terhadap perubahan iklim didominasi bagaimana menurunkan emisi lewat
hutan. Padahal urusan perubahan iklim tak semata urusan penggundulan hutan ataupun degradasi lahan. Salah satu tugas utama negosiasi iklim adalah pengurangan emisi dan kenaikan suhu harus dijaga agar tak melebihi 1,5 derajat celcius. Kondisi inilah yang akhirnya dianggap bahwa hasil perundingan di Bangkok menjauh dari persoalan krisis iklim, yang memperparah kerentanan laki-laki dan perempuan, khususnya rakyat miskin, dan menambah beban persoalan mereka.
“Cuaca ekstrim telah mempengaruhi mata pencaharian 550 ribu nelayan dari 53 kabupaten dan kota di Indonesia. Oleh karenanya, komitmen penurunan emisi harus berbarengan penguatan adaptasi,” uangkap Mida Saragih dalam rilis media Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Hal ini dikuatkan dengan fakta sepanjang pesisir utara Jawa, petani Brebes, Indramayu, Karawang, Demak dan seterusnya mengalami beragam masalah karena cuaca ekstrim. Temuan Said Abdullah dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Pangan (KRKP) menyebutkan bahwa tingginya muka air laut yang mengakibatkan abrasi dan banjir rob dengan intensitasnya yang meninggi, menyulitkan kehidupan petani dan nelayan.
"Tak cukup membuat pernyataan menenangkan publik seolah putaran perundingan Bangkok akan menguntungkan negara berkembang seperti Indonesia. CSF menuntut delegasi Indonesia memiliki visi, misi dan kecakapan berdiplomasi yang lebih baik dan kuat memastikan Indonesia tak dirugikan dalam putaran perundingan perubahan Iklim berikutnya. DPR RI harus segera turun tangan menjalankan fungsi kontrolnya kepada pemerintah", jelas Siti Maemunah, Koordinator CSF dalam siaran Persnya.
"Pertemuan Bangkok tak banyak membicarakan bagaimana membantu adaptasi warga, sebagian besar agenda mendiskusikan bagaimana mengurangi emisi gas rumah kaca, yang harusnya tanggung jawab utama negara industri maju", ujar Teguh Surya dari WALHI.
Pernyataan delegasi Indonesia yang optimis terhadap hasil-hasil United Nations Climate Change Conference (UNCCC) dianggap sebagai sesuatu yang tidak pas. Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF) memandang subtansi negosiasi tak menjadi rekomendasi resmi perundingan karena minimnya waktu. Ditambah dengan rendahnya komitmen negara industri maju untuk mengurangi emisi dengan alasan krisis ekonomi dan bencana ekologis yang kerap menimpa. Ada prediksi jika pertemuan lanjutan di Durban menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab Negara berkembang. Fenomenanya di ujung putaran pertama berlakunya protokol Kyoto (16 Februari 2005 hinga 2012), terjadi pergeseran negara-negara industri maju yang harusnya mengurangi emisinya dalam jumlah drastis, kini berbalik. Negara berkembang yang justru sukarela menyatakan komitmennya menurunkan emisi dengan bantuan pendanaan negara industri maju.
Kegagalan Indonesia menjadikan wakilnya anggota Komite transisi Green Climate Fund mewakili Asia, menambah daftar keprihatinan komposisi anggota yang duduk dalam Green Climate fund (GCF) tak lagi independen. Kenyataannya GCF didominasi kepentingan Bank dunia dan Bank multilateral lainnya.
Sebagian besar respon terhadap perubahan iklim didominasi bagaimana menurunkan emisi lewat
hutan. Padahal urusan perubahan iklim tak semata urusan penggundulan hutan ataupun degradasi lahan. Salah satu tugas utama negosiasi iklim adalah pengurangan emisi dan kenaikan suhu harus dijaga agar tak melebihi 1,5 derajat celcius. Kondisi inilah yang akhirnya dianggap bahwa hasil perundingan di Bangkok menjauh dari persoalan krisis iklim, yang memperparah kerentanan laki-laki dan perempuan, khususnya rakyat miskin, dan menambah beban persoalan mereka.
“Cuaca ekstrim telah mempengaruhi mata pencaharian 550 ribu nelayan dari 53 kabupaten dan kota di Indonesia. Oleh karenanya, komitmen penurunan emisi harus berbarengan penguatan adaptasi,” uangkap Mida Saragih dalam rilis media Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Hal ini dikuatkan dengan fakta sepanjang pesisir utara Jawa, petani Brebes, Indramayu, Karawang, Demak dan seterusnya mengalami beragam masalah karena cuaca ekstrim. Temuan Said Abdullah dari Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Pangan (KRKP) menyebutkan bahwa tingginya muka air laut yang mengakibatkan abrasi dan banjir rob dengan intensitasnya yang meninggi, menyulitkan kehidupan petani dan nelayan.
"Tak cukup membuat pernyataan menenangkan publik seolah putaran perundingan Bangkok akan menguntungkan negara berkembang seperti Indonesia. CSF menuntut delegasi Indonesia memiliki visi, misi dan kecakapan berdiplomasi yang lebih baik dan kuat memastikan Indonesia tak dirugikan dalam putaran perundingan perubahan Iklim berikutnya. DPR RI harus segera turun tangan menjalankan fungsi kontrolnya kepada pemerintah", jelas Siti Maemunah, Koordinator CSF dalam siaran Persnya.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar