Mimpi Cangkring Menjadi Petani Lagi
Cantigi, Indramayu|Kotahujan.com-Pada masa jayanya petani pesisir Indramayu, Jawa Barat. Tepatnya di Desa Cantigi Kulon dan Cantigi Cangkring, Kecamatan Cantigi, sempat mengenyam nyamannya bertani di sawah mereka sendiri. Aktivitas tanam padi awal musim dan panen saat akhir musim menjadi rutinitas sehari-hari. Kini, akibat ketidakpastian cuaca dengan musim hujan yang terlalu panjang, kenikmatan itu sirna. Naiknya air laut ke sawah para petani mengakibatkan padi mereka tak mau tumbuh. Air laut telah membuat sawah mereka tidak bisa ditanami seperti semula.
"Dulunya desa Cangkring itu lahan padi. Tahun 1998 infrastruktur di desa kami rusak, sehingga saat air laut naik sawah-sawah kena air laut dan tak bisa ditanami, " ungkap Zainudin (57), petani dan petambak di Cantigi.
Demi menyambung hidup sawah-sawah di desa Cangkring diubah menjadi tambak. Sesuatu yang paling mungkin bisa mereka lakukan saat ini. Namun itu juga tak langsung mengubah hidup mereka, bertahun-tahun tanam padi dengan pestisida saat revolusi hijau. Membuat bekas lahan sawah itu tak bagus dijadikan tambak. Kontaminasi tanah oleh pestisida menjadi alasan kenapa udang dan ikan tambak mereka mati. Kalaupun hidup mutunya juga tidak bagus. Menjadi petambak sepertinya langkah sulit yang harus dijalani petani ini. Pengetahuan seadanya soal tambak, ditambah air laut yang makin sering pasang. Jarang sekali kesuksesan ada dipihak mereka. Keriduan pada lahan pertanian yang subur akhirnya menjadi mimpi mereka.
"Tanah yang tadinya subur makmur, karena perubahan iklim hilang menjadi tambak."
Belajar dari pengalaman yang terjadi di desa Cangkring. Petani Cantigi Kulon melakukan berbagai upaya konkrit. Salah satunya kelompok Tani Sumber Mulya Cantigi Kulon dengan anggota 10 orang. Mereka melakukan uji coba 15 varietas untuk mendapatkan benih yang sesuai dengan kondisi 110 hektar lahan mereka. Varietas seperti Kalimantan I, Kalimantan II, Kalimantan III, Kalimantan IV, Rangbo I, Rangbo II, Himpari IV, Ciheurang lokal, Goyang Dombret lokal, ketan lokal, F-12, Rita I, Krapyak I, Daso, dan Luba. Hasilnya petani menemukan beberapa varietas lokal yang tahan air laut. Seperti Ciheurang lokal, Goyang Dombret, dan ketan. Daso dan Luba yang merupakan bibit dari India, adalah jenis yang paling bisa tumbuh baik di tanah yang airnya didominasi air laut.
"Semua bibit lokal bagus. Namun, belum ada yang menandingi bibit dari India," kata Zainudin.
Terkait perubahan iklim dikampungnya, Zainudin berujar bahwa pemerintah terkait tidak memberi informasi terkait perubahan iklim di desanya. Bahkan sekolah lapang iklim yang dilakukan Departemen Pertanian ternyata tak bisa diterapkan pada lahan Cantigi.
"Akibat perubahan iklim tanah produksi menurun, hama tahan obat-obatan, harus dengan dosis tinggi."
Tak selesai sampai disitu, kondisi jalan yang buruk, ditambah hujan yang berkepanjangan juga menyulitkan petani menjual 'gabah' mereka. Truk pengangkut tak bisa masuk ke Cantigi Kulon. 10 ton gabah kering kini hanya teronggok di gudang Kelompok Tani Sumber Mulya.
Gabah ini akan terus bertambah saat panen nanti.
"Solusinya menunggu cuaca bagus. Kalau hujan gini, nggak ada truk yang masuk"
Kini harapan mereka tinggal bagaimana hasil uji coba tanaman padi tahan air laut. Mereka berharap bisa kembali menjadi petani, setelah harus jadi petambak seadanya dengan segala keterpaksaan. Nelayan juga bukan impian mereka sebagai mata pencaharian hidup.
"Masyarakat disini pengennya jadi petani kembali. Kalau jadi tani kan adem dan kerjanya di darat. Kalau melaut taruhannya nyawa," pungkas Zainuddin.
"Dulunya desa Cangkring itu lahan padi. Tahun 1998 infrastruktur di desa kami rusak, sehingga saat air laut naik sawah-sawah kena air laut dan tak bisa ditanami, " ungkap Zainudin (57), petani dan petambak di Cantigi.
Demi menyambung hidup sawah-sawah di desa Cangkring diubah menjadi tambak. Sesuatu yang paling mungkin bisa mereka lakukan saat ini. Namun itu juga tak langsung mengubah hidup mereka, bertahun-tahun tanam padi dengan pestisida saat revolusi hijau. Membuat bekas lahan sawah itu tak bagus dijadikan tambak. Kontaminasi tanah oleh pestisida menjadi alasan kenapa udang dan ikan tambak mereka mati. Kalaupun hidup mutunya juga tidak bagus. Menjadi petambak sepertinya langkah sulit yang harus dijalani petani ini. Pengetahuan seadanya soal tambak, ditambah air laut yang makin sering pasang. Jarang sekali kesuksesan ada dipihak mereka. Keriduan pada lahan pertanian yang subur akhirnya menjadi mimpi mereka.
"Tanah yang tadinya subur makmur, karena perubahan iklim hilang menjadi tambak."
Belajar dari pengalaman yang terjadi di desa Cangkring. Petani Cantigi Kulon melakukan berbagai upaya konkrit. Salah satunya kelompok Tani Sumber Mulya Cantigi Kulon dengan anggota 10 orang. Mereka melakukan uji coba 15 varietas untuk mendapatkan benih yang sesuai dengan kondisi 110 hektar lahan mereka. Varietas seperti Kalimantan I, Kalimantan II, Kalimantan III, Kalimantan IV, Rangbo I, Rangbo II, Himpari IV, Ciheurang lokal, Goyang Dombret lokal, ketan lokal, F-12, Rita I, Krapyak I, Daso, dan Luba. Hasilnya petani menemukan beberapa varietas lokal yang tahan air laut. Seperti Ciheurang lokal, Goyang Dombret, dan ketan. Daso dan Luba yang merupakan bibit dari India, adalah jenis yang paling bisa tumbuh baik di tanah yang airnya didominasi air laut.
"Semua bibit lokal bagus. Namun, belum ada yang menandingi bibit dari India," kata Zainudin.
Terkait perubahan iklim dikampungnya, Zainudin berujar bahwa pemerintah terkait tidak memberi informasi terkait perubahan iklim di desanya. Bahkan sekolah lapang iklim yang dilakukan Departemen Pertanian ternyata tak bisa diterapkan pada lahan Cantigi.
"Akibat perubahan iklim tanah produksi menurun, hama tahan obat-obatan, harus dengan dosis tinggi."
Tak selesai sampai disitu, kondisi jalan yang buruk, ditambah hujan yang berkepanjangan juga menyulitkan petani menjual 'gabah' mereka. Truk pengangkut tak bisa masuk ke Cantigi Kulon. 10 ton gabah kering kini hanya teronggok di gudang Kelompok Tani Sumber Mulya.
Gabah ini akan terus bertambah saat panen nanti.
"Solusinya menunggu cuaca bagus. Kalau hujan gini, nggak ada truk yang masuk"
Kini harapan mereka tinggal bagaimana hasil uji coba tanaman padi tahan air laut. Mereka berharap bisa kembali menjadi petani, setelah harus jadi petambak seadanya dengan segala keterpaksaan. Nelayan juga bukan impian mereka sebagai mata pencaharian hidup.
"Masyarakat disini pengennya jadi petani kembali. Kalau jadi tani kan adem dan kerjanya di darat. Kalau melaut taruhannya nyawa," pungkas Zainuddin.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar