Moratorium Ditandatangani Hutan Tetap Digunduli
Bogor|Kotahujan.com-Meski aturan moratorium konversi hutan telah ditandatangani di Jakarta beberapa saat lalu, pelanggaran atas kesepakatan ini terus terjadi. Bahkan dilaporkan adanya temuan pelanggaran atas aturan moratorium konversi hutan pada provinsi yang dijadikan percontohan, tepat pada saat moratorium tersebut ditandatangani dan dicanangkan di Jakarta.
Dalam laporan yang dirilis Telapak bersama Environmental Investigation Agency (EIA), hutan gambut di kawasan moratorium Kalimantan Tengah digunduli secara ilegal oleh PT Menteng Jaya Sawit Perdana (PT Menteng) pada tanggal 19 Mei 2011 lalu. Seperti diketahui Kalimantan Tengah merupakan provinsi percontohan dan moratorium merupakan dua hal yang menjadi dasar perjanjian antara Indonesia dan Norwegia melalui proyek REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) senilai US$ 1 miliar.
Pada laporan berjudul “Menjambret REDD”, terungkap fakta yang ternyata Norwegia-pun tetap mendapatkan keuntungan dari pelanggaran moratorium tersebut. Keuntungan itu berasal dari kepemiikan saham senilai 41,5 juta dolar
di perusahaan induk PT Menteng, yakni Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK). Keanehan ini tentunya melawan image yang berkembang bahwa Norwegia adalah pemimpin dunia untuk membangun REDD+.
Government Pension Fund Global (GPFG) Norwegia telah berinvestasi pada perusahaan perkebunan dan industri kayu di Indonesia, termasuk di empat grup utama yang mengoperasikan 24 anak perusahaan perkebunan tanpa izin yang sesuai di provinsi percontohan Kalimantan Tengah. EIA memperkirakan Norwegia telah mendapatkan uang dari perkebunan dan industri kayu di Indonesia, termasuk yang dilakukan dengan praktek ilegal, lima kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dana hibah REDD+ seperti yang tercantum dalam Letter of Intent sebesar US$ 1 miliar.
“Mengandalkan moratorium dan dana hibah REDD+ saja tidak akan menyelesaikan permasalahan deforestasi di Indonesia, dan buruknya tata kelola hutan di negara ini, maka kita harus berhati-hati terhadap negara-negara seperti Norwegia yang justru mendapatkan untung dari deforestasi di Indonesia, “kata Direktur Kampanye Telapak, Hapsoro.
Dalam rilis laporannya Telapak dan EIA telah memperingatkan bahwa kekacauan regulasi dan adanya budaya kebal hukum di sektor perkebunan Indonesia dapat mengancam moratorium serta upaya-upaya penting untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi karbon. Saat PT Menteng melakukan pelanggaran atas moratorium, informasi dari pihak berwenang di Indonesia telah menunjukkan adanya ratusan perkebunan di Kalimantan Tengah yang beroperasi di luar hukum yang berlaku, dan jumlahnya bahkan melebihi jumlah usaha perkebunan yang legal.
“Kejahatan dan korupsi di sektor kehutanan Indonesia telah mengabaikan moratorium sejak hari pertama aturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa adanya perbaikan penegakan hukum yang signifikan, maka REDD+ tampaknya akan gagal diterapkan di Indonesia,” kata juru kampanye hutan EIA, Tomasz Johnson dalam rilis tersebut.
Atas dirilisnya laporan ini, Telapak menyerukan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk sesegera mungkin menghentikan dan melakukan investigasi atas kegiatan PT Menteng Jaya Sawit Perdana, memperbaiki penegakan hukum secara signifikan di bidang perkebunan, menggunakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk mengaudit pembabatan hutan tanpa izin yang relevan dan memastikan peta moratorium diperkuat, dan bukannya diperlemah pada saatnya direvisi.
Pemerintah Norwegia harus sesegera mungkin melakukan investigasi terhadap grup perusahaan perkebunan KLK dan tiga grup lainnya yang beroperasi di Kalimantan Tengah, dimana Norwegia memiliki saham dengan jumlah signifikan.
Dalam laporan yang dirilis Telapak bersama Environmental Investigation Agency (EIA), hutan gambut di kawasan moratorium Kalimantan Tengah digunduli secara ilegal oleh PT Menteng Jaya Sawit Perdana (PT Menteng) pada tanggal 19 Mei 2011 lalu. Seperti diketahui Kalimantan Tengah merupakan provinsi percontohan dan moratorium merupakan dua hal yang menjadi dasar perjanjian antara Indonesia dan Norwegia melalui proyek REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) senilai US$ 1 miliar.
Pada laporan berjudul “Menjambret REDD”, terungkap fakta yang ternyata Norwegia-pun tetap mendapatkan keuntungan dari pelanggaran moratorium tersebut. Keuntungan itu berasal dari kepemiikan saham senilai 41,5 juta dolar
di perusahaan induk PT Menteng, yakni Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK). Keanehan ini tentunya melawan image yang berkembang bahwa Norwegia adalah pemimpin dunia untuk membangun REDD+.
Government Pension Fund Global (GPFG) Norwegia telah berinvestasi pada perusahaan perkebunan dan industri kayu di Indonesia, termasuk di empat grup utama yang mengoperasikan 24 anak perusahaan perkebunan tanpa izin yang sesuai di provinsi percontohan Kalimantan Tengah. EIA memperkirakan Norwegia telah mendapatkan uang dari perkebunan dan industri kayu di Indonesia, termasuk yang dilakukan dengan praktek ilegal, lima kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dana hibah REDD+ seperti yang tercantum dalam Letter of Intent sebesar US$ 1 miliar.
“Mengandalkan moratorium dan dana hibah REDD+ saja tidak akan menyelesaikan permasalahan deforestasi di Indonesia, dan buruknya tata kelola hutan di negara ini, maka kita harus berhati-hati terhadap negara-negara seperti Norwegia yang justru mendapatkan untung dari deforestasi di Indonesia, “kata Direktur Kampanye Telapak, Hapsoro.
Dalam rilis laporannya Telapak dan EIA telah memperingatkan bahwa kekacauan regulasi dan adanya budaya kebal hukum di sektor perkebunan Indonesia dapat mengancam moratorium serta upaya-upaya penting untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi karbon. Saat PT Menteng melakukan pelanggaran atas moratorium, informasi dari pihak berwenang di Indonesia telah menunjukkan adanya ratusan perkebunan di Kalimantan Tengah yang beroperasi di luar hukum yang berlaku, dan jumlahnya bahkan melebihi jumlah usaha perkebunan yang legal.
“Kejahatan dan korupsi di sektor kehutanan Indonesia telah mengabaikan moratorium sejak hari pertama aturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa adanya perbaikan penegakan hukum yang signifikan, maka REDD+ tampaknya akan gagal diterapkan di Indonesia,” kata juru kampanye hutan EIA, Tomasz Johnson dalam rilis tersebut.
Atas dirilisnya laporan ini, Telapak menyerukan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk sesegera mungkin menghentikan dan melakukan investigasi atas kegiatan PT Menteng Jaya Sawit Perdana, memperbaiki penegakan hukum secara signifikan di bidang perkebunan, menggunakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk mengaudit pembabatan hutan tanpa izin yang relevan dan memastikan peta moratorium diperkuat, dan bukannya diperlemah pada saatnya direvisi.
Pemerintah Norwegia harus sesegera mungkin melakukan investigasi terhadap grup perusahaan perkebunan KLK dan tiga grup lainnya yang beroperasi di Kalimantan Tengah, dimana Norwegia memiliki saham dengan jumlah signifikan.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar