Kalimantan's Craft, Harmonisnya Budaya Dayak dengan Alam
Bogor|Kotahujan.com-Film Kalimantan's Craft: Harmony of Culture and Nature produksi Gekko Studio, kini telah ditonton oleh negara-negara lain di dunia saat peringatan Hari Internasional Untuk Masyarakat Adat Dunia oleh PBB, Selasa (09/08) kemarin. Nanang Sujana, sang pembuat film tersebut mengungkapkan bahwa ia ingin menyampaikan harmonisasi kehidupan masyarakat Dayak sehingga timbul penghargaan dari masyarakat luas.
"Jadi pada saat kita membuat film tentang craft Kalimantan ini, kita berharap bahwa ada pesan dari kampung itu seperti desain kampung, kreatifitas dari masyarakat adat itu juga bisa dihargai oleh audiens yang ada di perkotaan atau market yang lebih luas tentunya, karena ini sangat berhubungan" ujar Nanang kepada Kotahujan.
Film ini digunakan oleh Jaringan Kerajinan Kalimantan untuk memperkenalkan produk khas Kalimantan dengan nama Borneo Chic. Film ini menceritakan tentang aktivitas kaum perempuan masyarakat Dayak seperti menenun dan menganyam. Dalam film ini diperlihatkan bagaimana mereka memperoleh bahan baku, seperti rotan dan bemban dari hutan. Kesederhanaan dan proses pengerjaan yang masih tradisional terlihat jelas dalam film ini. Namun tradisi menganyam masyarakat adat Dayak terancam punah dengan semakin berkurangnya hutan yang disebabkan banyak faktor, termasuk pembangunan.
"Hutan kalimantan ini berkurangnya drastis sekali dalam dua dekade terakhir ini. Penebangan, konversi perkebunan, tambang, hutan tanaman industri itu jadi ancaman terberat yang ada disana. Bagi saya masyarakat adat di Kalimantan ini punya masalah besar pada saat pembangunan ini datang ke tempat tersebut" ungkap Nanang.
Menurut Nanang, hal penting yang harus diperhatikan dalam konservasi adalah peningkatan ekonomi masyarakat tanpa menghilangkan nilai luhur tradisi yang sudah ada. Ia menambahkan perlu adanya penghargaan terhadap nilai seni dari produk lokal seperti anyaman dan tenun dengan turut menjaga kelestarian hutan.
"Dan seharusnya juga kita paham bahwa produk-produk bernilai seni tinggi itu tidak akan mampu bertahan kalau seandainya lingkungannya tidak dipertahankan, hutannya tidak dipertahankan, kupikir itu yang paling saya harapkan audiens bisa terima itu, bisa terima tentang pesan-pesan yang ada di film itu, keseimbangan antara budaya dan alam itu tidak bisa dihilangkan" tuturnya.
Meskipun keberadaan hutan Kalimantan semakin terancam, namun Nanang tidak menampilkan hal tersebut dalam film berdurasi 30 menit itu. Ia ingin lebih mengangkat harmoni dan keindahan dalam kesederhanaan masyarakat adat Dayak. Namun dari harmoni tersebut ia berharap justru masyarakat dapat tergugah untuk turut menjaganya.
"Saya ingin menunjukkan lebih ke harmoni seni yang ada di situ, bagaimana mereka menenun, bagaimana mereka menganyam, saya hanya menunjukkan itu, yang pasti kerusakan itu terjadi di sekitar mereka, untuk saat ini memang sengaja menampilkan itu saja, sisi keindahan harmoni dari kultur dan nature, saya harap dengan harmoni ini orang-orang, audiens bisa mencintai hutannya mereka, bisa mencintai kebudayaan yang ada, ini adalah warisan dari bangsa kita sendiri" tambah Nanang.
"Jadi pada saat kita membuat film tentang craft Kalimantan ini, kita berharap bahwa ada pesan dari kampung itu seperti desain kampung, kreatifitas dari masyarakat adat itu juga bisa dihargai oleh audiens yang ada di perkotaan atau market yang lebih luas tentunya, karena ini sangat berhubungan" ujar Nanang kepada Kotahujan.
Film ini digunakan oleh Jaringan Kerajinan Kalimantan untuk memperkenalkan produk khas Kalimantan dengan nama Borneo Chic. Film ini menceritakan tentang aktivitas kaum perempuan masyarakat Dayak seperti menenun dan menganyam. Dalam film ini diperlihatkan bagaimana mereka memperoleh bahan baku, seperti rotan dan bemban dari hutan. Kesederhanaan dan proses pengerjaan yang masih tradisional terlihat jelas dalam film ini. Namun tradisi menganyam masyarakat adat Dayak terancam punah dengan semakin berkurangnya hutan yang disebabkan banyak faktor, termasuk pembangunan.
"Hutan kalimantan ini berkurangnya drastis sekali dalam dua dekade terakhir ini. Penebangan, konversi perkebunan, tambang, hutan tanaman industri itu jadi ancaman terberat yang ada disana. Bagi saya masyarakat adat di Kalimantan ini punya masalah besar pada saat pembangunan ini datang ke tempat tersebut" ungkap Nanang.
Menurut Nanang, hal penting yang harus diperhatikan dalam konservasi adalah peningkatan ekonomi masyarakat tanpa menghilangkan nilai luhur tradisi yang sudah ada. Ia menambahkan perlu adanya penghargaan terhadap nilai seni dari produk lokal seperti anyaman dan tenun dengan turut menjaga kelestarian hutan.
"Dan seharusnya juga kita paham bahwa produk-produk bernilai seni tinggi itu tidak akan mampu bertahan kalau seandainya lingkungannya tidak dipertahankan, hutannya tidak dipertahankan, kupikir itu yang paling saya harapkan audiens bisa terima itu, bisa terima tentang pesan-pesan yang ada di film itu, keseimbangan antara budaya dan alam itu tidak bisa dihilangkan" tuturnya.
Meskipun keberadaan hutan Kalimantan semakin terancam, namun Nanang tidak menampilkan hal tersebut dalam film berdurasi 30 menit itu. Ia ingin lebih mengangkat harmoni dan keindahan dalam kesederhanaan masyarakat adat Dayak. Namun dari harmoni tersebut ia berharap justru masyarakat dapat tergugah untuk turut menjaganya.
"Saya ingin menunjukkan lebih ke harmoni seni yang ada di situ, bagaimana mereka menenun, bagaimana mereka menganyam, saya hanya menunjukkan itu, yang pasti kerusakan itu terjadi di sekitar mereka, untuk saat ini memang sengaja menampilkan itu saja, sisi keindahan harmoni dari kultur dan nature, saya harap dengan harmoni ini orang-orang, audiens bisa mencintai hutannya mereka, bisa mencintai kebudayaan yang ada, ini adalah warisan dari bangsa kita sendiri" tambah Nanang.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar