Memotret Masyarakat Adat Bias Darat
Bogor|Kotahujan.com-Potret eksistensi masyarakat adat di Indonesia dan apa aspirasi mereka terkait pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan. Terkuak dalam buku laporan berjudul “Masyarakat Adat di Indonesia: Eksistensi, Tantangan dan Aspirasi” yang dirilis perkumpulan Telapak Bogor. Laporan yang rilis resminya dilakukan di Hotel Cemara Jakarta Kamis (18/8) lalu itu menitikberatkan pada persoalan eksistensi dan penghidupan mereka. Walaupun UUD mengakui dengan tegas eksistensi dan keberadaan masyarakat adat, tetapi UU turunannya tidak banyak yang mengakui secara penuh, itulah yang meyebabkan konflik yang terjadi antara masyarakat adat yang ingin memperjuangkan haknya dengan pemerintah.
Buku laporan sebanyak 59 halaman itu secara teknis bertutur pada persoalan latar belakang kesejarahan, pengakuan internasional tentang masyarakat adat, inisiatif yang dilakukan oleh aliansi (AMAN) terkait pendataan, redefinisi dan registrasi wilayah adat. Kemudian bicara juga mengenai dampak iklim dan pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat adat, konflik yang dialami dan beberapa agenda legislasi yang dilakukan. Termasuk tuntutan dan harapan masyarakat adat.
Meski demikian, dalam diskusi yang membahas laporan ini, sebagaian kalangan menilai bahwa buku ini lebih condong pada persoalan hukum, kesejarahan, kebijakan dan politik.
“Kita tahu bahwa hukum secara tidak langsung mempengaruhi tata kelola, tata pemerintahan termasuk bagaimana mengurus masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya ya kebijakan. Kita ingin memotret atau melindungi masyarakat adat di Indonesia. Dengan demikian kita tahu apa persoalan-persoalan mendasar terkait masyarakat adat, karena memang banyak hukum di Indonesia yang belum terintegrasi, pengakuan masyarakat secara utuh, ” papar Christian 'Bob' Purba, Wakil Ketua Badan Pengurus Telapak yang juga kontributor penulisan buku laporan ini.
Bernadinus Steny dari Perkumpulan HuMa pada paparan diskusi mengungkapkan, buku ini identifikasi masyarakat adat masih bias darat, kondisi saat ini AMAN telah berhasil mengakomodir pengakuan masyarakat adat kedalam UU Kelautan dan Pesisir. Menurutnya penting mengangkat tak hanya faktanya, tetapi salah satu jalan sukses masyarakat adat tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan Nina Dwisasanti, konsultan lepas untuk konservasi laut. Menurutnya bias darat mendominasi isu masyarakat adat dalam buku laporan Telapak, padahal kalau bicara adaptasi iklim salah satunya menyentuh masyarakat adat pesisir.
Sementara itu Sekjen AMAN Abdon Nababan mengungkapkan bahwa data yang diangkat dalam buku ini banyak memotret masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN. Padahal masih cukup banyak Lembaga Masyarakat Adat yang menerapkan proses-proses adaptasi. Abdon juga menyarankan untuk melengkapi dan memperbanyak potret masyarakat adat, dibanding potret kebijakan, politik dan hukum. Tak kalah pentingnya juga perlu diupdate data-datanya.
“Beberapa data disini memang kurang update, misalnya tentang draft deklarasi PBB, dalam laporan sebenarnya sudah deklarasi dan diadopsi, mungkin tinggal ditambahkan” kritiknya.
Sejauh ini masih banyak masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah eksis, sudah ada yang belum menjadi anggota AMAN. PR terbesarnya buku ini harus menjawab itu, dan Telapak berencana membuat bagaimana buku ini secara komprehensif memotret kondisi masyarakat adat di Indonesia.
“Ada hal yang bisa kita potret selain hukum, adalah bagaimana memotret masyarakat adat dilevel basis. Walaupun hukum kita banyak masalah tetapi kita bisa dapatkan cerita-cerita dilapangan yang menjelaskan masyarakat adat itu ada. Dan itulah yang harus dijawab dari buku ini,” pungkas Bob.
Buku laporan sebanyak 59 halaman itu secara teknis bertutur pada persoalan latar belakang kesejarahan, pengakuan internasional tentang masyarakat adat, inisiatif yang dilakukan oleh aliansi (AMAN) terkait pendataan, redefinisi dan registrasi wilayah adat. Kemudian bicara juga mengenai dampak iklim dan pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat adat, konflik yang dialami dan beberapa agenda legislasi yang dilakukan. Termasuk tuntutan dan harapan masyarakat adat.
Meski demikian, dalam diskusi yang membahas laporan ini, sebagaian kalangan menilai bahwa buku ini lebih condong pada persoalan hukum, kesejarahan, kebijakan dan politik.
“Kita tahu bahwa hukum secara tidak langsung mempengaruhi tata kelola, tata pemerintahan termasuk bagaimana mengurus masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya ya kebijakan. Kita ingin memotret atau melindungi masyarakat adat di Indonesia. Dengan demikian kita tahu apa persoalan-persoalan mendasar terkait masyarakat adat, karena memang banyak hukum di Indonesia yang belum terintegrasi, pengakuan masyarakat secara utuh, ” papar Christian 'Bob' Purba, Wakil Ketua Badan Pengurus Telapak yang juga kontributor penulisan buku laporan ini.
Bernadinus Steny dari Perkumpulan HuMa pada paparan diskusi mengungkapkan, buku ini identifikasi masyarakat adat masih bias darat, kondisi saat ini AMAN telah berhasil mengakomodir pengakuan masyarakat adat kedalam UU Kelautan dan Pesisir. Menurutnya penting mengangkat tak hanya faktanya, tetapi salah satu jalan sukses masyarakat adat tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan Nina Dwisasanti, konsultan lepas untuk konservasi laut. Menurutnya bias darat mendominasi isu masyarakat adat dalam buku laporan Telapak, padahal kalau bicara adaptasi iklim salah satunya menyentuh masyarakat adat pesisir.
Sementara itu Sekjen AMAN Abdon Nababan mengungkapkan bahwa data yang diangkat dalam buku ini banyak memotret masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN. Padahal masih cukup banyak Lembaga Masyarakat Adat yang menerapkan proses-proses adaptasi. Abdon juga menyarankan untuk melengkapi dan memperbanyak potret masyarakat adat, dibanding potret kebijakan, politik dan hukum. Tak kalah pentingnya juga perlu diupdate data-datanya.
“Beberapa data disini memang kurang update, misalnya tentang draft deklarasi PBB, dalam laporan sebenarnya sudah deklarasi dan diadopsi, mungkin tinggal ditambahkan” kritiknya.
Sejauh ini masih banyak masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah eksis, sudah ada yang belum menjadi anggota AMAN. PR terbesarnya buku ini harus menjawab itu, dan Telapak berencana membuat bagaimana buku ini secara komprehensif memotret kondisi masyarakat adat di Indonesia.
“Ada hal yang bisa kita potret selain hukum, adalah bagaimana memotret masyarakat adat dilevel basis. Walaupun hukum kita banyak masalah tetapi kita bisa dapatkan cerita-cerita dilapangan yang menjelaskan masyarakat adat itu ada. Dan itulah yang harus dijawab dari buku ini,” pungkas Bob.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar