WALHI dan JIKALAHARI Desak Buka Kasus SP3 Kejahatan Hutan di Riau
Jakarta|Kotahujan.com-Mandegnya penegakkan hukum atas tindak pengrusakan hutan yang terjadi secara masif di Indonesia, kembali menuai kecaman aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan kerja penyelamatan hutan Riau (JIKALAHARI). Fakta dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut sebagai komitmen Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengurangi emisi sampai dengan 26% atau 41%, dipandang sebagai sesuatu yang tidak serius. Pasalnya saat yang bersamaan APP dan APRIL masih meneruskan konversi hutan alam dan lahan gambut di Propinsi Riau seluas 243.672 hektar atau dari kubikasi kayu alam sebanyak 23.753.599 m3 (sumber EoF, 2010). Demikian rilis yang diterima kantor berita Gurindam12, jaringan kotahujan.com dari WALHI dan JIKALAHARI, tanggal 28 Juli 2011 lalu itu.
Kejahatan kehutanan yang melibatkan 14 perusahaan di Provinsi Riau, yang kemudian di SP3 oleh Polda Riau, telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 73.364.544.000.000 dan total biaya kerugian perusakan lingkungan sebesar Rp 1.994.594.854.760.000. WALHI memaparkan bahwa penanganan tindak pidana seperti ini telah menunjukkan wajah hukum di Indonesia yang sangat takut pada investasi berbasis konversi lahan.
“Kerugian Negara yang ditimbulkan dari kejahatan kehutanan ini sebanding dengan 17 kali lebih besar dari APBD Provinsi Riau 2010 atau 7% dari APBN 2010 dan jika dilihat dari total biaya kerusakan lingkungannya menjadi 190% atau hampir 2 kali lipat dari APBN 2010” Jelas Muhammad Teguh Surya, aktivis Walhi.
Dalam rilisnya itu Muhammad Teguh mengatakan kebijakan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut, harusnya mampu menjawab permasalahan kesemerautan tata kelola kehutanan. Namun INPRES No. 10/2011 menurutnya hanya basa-basi dan tetap memberi ruang penghancuran hutan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir.
Kordinasi penegak hukum dan satgas PMH yang terjadi di Riau beberapa waktu yang lalu dimana telah merekomendasikan untuk mempertimbangkan pencabutan kembali SP3 oleh Kepolisian ternyata tidak di gubris oleh penegak hukum tersebut.
“Para pihak secara nyata memahami sangat banyak kejanggalan yang terjadi, diantaranya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar, S.H, memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah, sehingga tidak ada lasan lagi untuk tidak membuka kasus SP3 terhadap 14 perusahaan milik APP dan APRIL ini” Jelas Muslim, Koordinator JIKALAHARI.
Membuka kembali kasus SP3 Illegal Logging oleh 14 perusahaan di Riau sangat mendesak untuk dilakukan oleh Kapolri. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang adil dan tegas masih bisa diharapkan di negeri ini. Kementerian Lingkungan Hidup juga perlu memainkan perannya sebagaimana yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90 yaitu melakukan gugatan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup.
Kejahatan kehutanan yang melibatkan 14 perusahaan di Provinsi Riau, yang kemudian di SP3 oleh Polda Riau, telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 73.364.544.000.000 dan total biaya kerugian perusakan lingkungan sebesar Rp 1.994.594.854.760.000. WALHI memaparkan bahwa penanganan tindak pidana seperti ini telah menunjukkan wajah hukum di Indonesia yang sangat takut pada investasi berbasis konversi lahan.
“Kerugian Negara yang ditimbulkan dari kejahatan kehutanan ini sebanding dengan 17 kali lebih besar dari APBD Provinsi Riau 2010 atau 7% dari APBN 2010 dan jika dilihat dari total biaya kerusakan lingkungannya menjadi 190% atau hampir 2 kali lipat dari APBN 2010” Jelas Muhammad Teguh Surya, aktivis Walhi.
Dalam rilisnya itu Muhammad Teguh mengatakan kebijakan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut, harusnya mampu menjawab permasalahan kesemerautan tata kelola kehutanan. Namun INPRES No. 10/2011 menurutnya hanya basa-basi dan tetap memberi ruang penghancuran hutan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir.
Kordinasi penegak hukum dan satgas PMH yang terjadi di Riau beberapa waktu yang lalu dimana telah merekomendasikan untuk mempertimbangkan pencabutan kembali SP3 oleh Kepolisian ternyata tidak di gubris oleh penegak hukum tersebut.
“Para pihak secara nyata memahami sangat banyak kejanggalan yang terjadi, diantaranya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar, S.H, memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah, sehingga tidak ada lasan lagi untuk tidak membuka kasus SP3 terhadap 14 perusahaan milik APP dan APRIL ini” Jelas Muslim, Koordinator JIKALAHARI.
Membuka kembali kasus SP3 Illegal Logging oleh 14 perusahaan di Riau sangat mendesak untuk dilakukan oleh Kapolri. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang adil dan tegas masih bisa diharapkan di negeri ini. Kementerian Lingkungan Hidup juga perlu memainkan perannya sebagaimana yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90 yaitu melakukan gugatan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar