Deklarasi Rongkong, Konsistensi Perjuangan Masyarakat Adat
Rongkong Mesakke|Kotahujan.com-Tak mudah mencapai Tana Rongkong Mesakke, sebuah desa di kecamatan Limbong, Luwu Utara. Pada lokasi jalan berpasir dan menanjak itu, sebuah catatan sejarah tertoreh bagi perjuangan masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Selama 3 hari di 'negeri awan' (20 – 23 September 2011), 140 perwakilan masyarakat adat yang menjadi pengurus AMAN sukses menggelar Rakernas dengan keluarnya Deklarasi Rongkong sebagai rekomendasi. Deklarasi Rongkong menjadi bukti bagaimana perjuangan harkat, martabat dan kehormatan masyarakat adat terus disuarakan.
Poin-poin dalam deklarasi itu menyerukan berbagai sikap masyarakat adat terkait persoalan kebijakan pemerintah, Hak dan Prinsip atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC), perubahan iklim, krisis pangan, energi dan REDD+. Serta pertanahan, departemen sosial dan Kementrian Dalam Negeri. Poin-poin ini akan menjadi kebijakan perjuangan masyarakat adat yang diwakili seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah. Salah satu poin utama adalah persoalan kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada masyarakat adat.
Seiring dengan dinginnya udara Rongkong, perwakilan adat dari wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, membuat seruan pada pemerintah untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014. Mencabut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat. Menyatakan tidak berlaku sebutan Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, di wilayah adat.
Pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi wilayah adat (BRWA), harus menjadi perhatian dan acuan pemerintah.
Semua kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada publik dengan mengutamakan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
Semua tingkatan pemerintah Indonesia diserukan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam di wilayah-wilayah adat, tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama. Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa atau Nama Lain yang sedang disusun saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas serta otonomi asli Masyarakat Adat.
Tak lupa dalam deklarasi ini juga diserukan kepada Presiden RI khususnya, untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
Tak sekedar seruan tuntutan, masyarakat adat (AMAN) melalui deklarasi tersebut juga mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Poin-poin dalam deklarasi itu menyerukan berbagai sikap masyarakat adat terkait persoalan kebijakan pemerintah, Hak dan Prinsip atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC), perubahan iklim, krisis pangan, energi dan REDD+. Serta pertanahan, departemen sosial dan Kementrian Dalam Negeri. Poin-poin ini akan menjadi kebijakan perjuangan masyarakat adat yang diwakili seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah. Salah satu poin utama adalah persoalan kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada masyarakat adat.
Seiring dengan dinginnya udara Rongkong, perwakilan adat dari wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, membuat seruan pada pemerintah untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014. Mencabut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat. Menyatakan tidak berlaku sebutan Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, di wilayah adat.
Pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi wilayah adat (BRWA), harus menjadi perhatian dan acuan pemerintah.
Semua kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada publik dengan mengutamakan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
Semua tingkatan pemerintah Indonesia diserukan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam di wilayah-wilayah adat, tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama. Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa atau Nama Lain yang sedang disusun saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas serta otonomi asli Masyarakat Adat.
Tak lupa dalam deklarasi ini juga diserukan kepada Presiden RI khususnya, untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
Tak sekedar seruan tuntutan, masyarakat adat (AMAN) melalui deklarasi tersebut juga mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar