Satgas Iklim dan Pertemuan Palangkaraya
Palangkaraya|Kotahujan.com-Selasa (20/9) ini Satuan Tugas Iklim dan Hutan Gubernur (Governors’ Climate and Forest Task Force) mengadakan pertemuan tahunan ke-5 di Palangkaraya Kalimantan Tengah. Pertemuan resminya berlangsung tanggal 20-22 September 2011, mencakup beberapa pengumuman tentang pembentukan sebuah mekanisme pendanaan baru bagi negara bagian GCF dan sebuah alat baru untuk berbagi data. Pertemuan penuh juga akan diisi oleh diskusi-diskusi oleh berbagai pakar terkemuka dunia tentang isu-isu seperti perlindungan sosial dan lingkungan, pendanaan, penyelarasan antara program-program REDD+ negara bagian dan propinsi dengan kebijakan dan kerangka kerja hukum nasional. Mencakup juga informasi tentang Kelompok Kerja Offset REDD California/Acre/Chiapas (ROW) dan sebuah inisiatif MRV baru dari Google Earth. Pertemuan ini terbuka bagi seluruh stakeholder yang berminat.
Pada pertemuan yang dibuka Gubernur Kalimantan Tengah, disampaikan kemajuan subnasional dalam pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Lebih dari 200 perwakilan diharapkan hadir dalam acara tiga hari ini, termasuk perwakilan dari 15 negara bagian dan propinsi GCF (yang mewakili 5 negara), para stakeholder dan pakar internasional.
Negara bagian-negara bagian GCF yang hadir mewakili lebih dari 20% hutan tropis dunia, termasuk sekitar 75% hutan tropis di Brasil dan lebih dari setengah hutan tropis Indonesia. Serta beberapa negara bagian yang sedang mengembangkan kebijakan-kebijakan iklim yang progresif seperti California.
Pertemuan GCF tahun 2011 menjadi isyarat penting bagi Palangkaraya, Indonesia dan dunia. Kemajuan dalam REDD+ sedang bergerak lebih cepat di tingkat propinsi dan negara bagian.
"GCF memainkan peranan kunci dalam membantu Kalimantan Tengah dan negara bagian dan propinsi GCF lainnya untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan lebih lanjut kegiatan-kegiatan antara implementasi REDD+ nasional dan subnasional serta membangun dari komitmen-komitmen kita yang ada,” ungkap Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang dalam siaran pers-nya.
Menurutnya REDD+ mengacu pada Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang menyumbang lebih dari 20% emisi gas rumah kaca dunia. Propinsi Kalimantan Tengah telah memainkan peran kepemimpinan kunci dalam kebijakan REDD+ Indonesia seperti dapat dilihat dari pemilihan propinsi ini sebagai “Propinsi Uji Coba” oleh Presiden Yudhoyono tahun 2010. Penetapan ini menginiasi pendanaan dan kerja sama teknis antara pemerintah nasional dan pemerintah propinsi untuk mengembangkan program-program REDD+ baru. MOU kerja sama ini sudah ditandatangani tanggal 16 September 2011 lalu oleh Kepala Unit Kerja REDD+ Presiden, Kuntoro Mangkusubroto, dan Gubernur Teras Narang.
Lingkup kerja oleh pemerintah pusat dan propinsi ini sayangnya tak secara tegas melibatkan masyarakat adat. Skema ini idealnya juga melibatkan masyarakat adat, terutama pada proses-proses
perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
“Semua pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV),” urai Jopi Paranginangin dalam rilis pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, hasil Rapat Umum dan Konsultasi Nasional Masyarakat Adat tentang Perubahan Iklim di Sabbang, kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
William Boyd, Penasehat Senior GCF memaparkan bahwa dana dan database Pengetahuan GCF yang baru menyoroti kepemimpinan ini, akan membantu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan bersama dan mendanai kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mendorong implementasi REDD+ di tingkat yurisdiksi (negara bagian/propinsi).
“Sekali lagi, negara bagian dan propinsi anggota GCF memimpin dunia dalam pengembangan program-program REDD+ yang kuat dan berkelanjutan”, kata Boyd.
Pada pertemuan yang dibuka Gubernur Kalimantan Tengah, disampaikan kemajuan subnasional dalam pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Lebih dari 200 perwakilan diharapkan hadir dalam acara tiga hari ini, termasuk perwakilan dari 15 negara bagian dan propinsi GCF (yang mewakili 5 negara), para stakeholder dan pakar internasional.
Negara bagian-negara bagian GCF yang hadir mewakili lebih dari 20% hutan tropis dunia, termasuk sekitar 75% hutan tropis di Brasil dan lebih dari setengah hutan tropis Indonesia. Serta beberapa negara bagian yang sedang mengembangkan kebijakan-kebijakan iklim yang progresif seperti California.
Pertemuan GCF tahun 2011 menjadi isyarat penting bagi Palangkaraya, Indonesia dan dunia. Kemajuan dalam REDD+ sedang bergerak lebih cepat di tingkat propinsi dan negara bagian.
"GCF memainkan peranan kunci dalam membantu Kalimantan Tengah dan negara bagian dan propinsi GCF lainnya untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan lebih lanjut kegiatan-kegiatan antara implementasi REDD+ nasional dan subnasional serta membangun dari komitmen-komitmen kita yang ada,” ungkap Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang dalam siaran pers-nya.
Menurutnya REDD+ mengacu pada Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang menyumbang lebih dari 20% emisi gas rumah kaca dunia. Propinsi Kalimantan Tengah telah memainkan peran kepemimpinan kunci dalam kebijakan REDD+ Indonesia seperti dapat dilihat dari pemilihan propinsi ini sebagai “Propinsi Uji Coba” oleh Presiden Yudhoyono tahun 2010. Penetapan ini menginiasi pendanaan dan kerja sama teknis antara pemerintah nasional dan pemerintah propinsi untuk mengembangkan program-program REDD+ baru. MOU kerja sama ini sudah ditandatangani tanggal 16 September 2011 lalu oleh Kepala Unit Kerja REDD+ Presiden, Kuntoro Mangkusubroto, dan Gubernur Teras Narang.
Lingkup kerja oleh pemerintah pusat dan propinsi ini sayangnya tak secara tegas melibatkan masyarakat adat. Skema ini idealnya juga melibatkan masyarakat adat, terutama pada proses-proses
perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
“Semua pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV),” urai Jopi Paranginangin dalam rilis pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, hasil Rapat Umum dan Konsultasi Nasional Masyarakat Adat tentang Perubahan Iklim di Sabbang, kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
William Boyd, Penasehat Senior GCF memaparkan bahwa dana dan database Pengetahuan GCF yang baru menyoroti kepemimpinan ini, akan membantu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan bersama dan mendanai kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mendorong implementasi REDD+ di tingkat yurisdiksi (negara bagian/propinsi).
“Sekali lagi, negara bagian dan propinsi anggota GCF memimpin dunia dalam pengembangan program-program REDD+ yang kuat dan berkelanjutan”, kata Boyd.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar