Tuntutan Masyarakat dalam Pertemuan Governors Climate Forest
Palangkaraya|Kotahujan.com-Terkait pertemuan Governors Climate Forest, beberapa perwakilan komunitas di dalam dan sekitar hutan dan lahan gambut dari Aceh, Papua, Sulawesi Tengah dan Kalimantan, menyampaikan beberapa tuntutan terhadap pelaksanaan proyek pembangunan rendah karbon maupun proyek-proyek iklim lainnya. Tuntutan yang disampaikan kepada para Donor, Gubernur, Kepala Negara Bagian, Bupati dan pejabat negara itu terkait hak-hak masyarakat. Seperti, partisipasi, akses informasi, pengakuan wilayah kelola, hak atas tanah, mekanisme penyelesaian konflik, dan proses-proses dan manfaat yang ditentukan oleh masyarakat.Mereka membacakan aspirasinya di hadapan para undangan GCF dalam selama lima menit menjelang pukul 17.00 WITA.
Masyarakat mendesak harus ada kepastian mengenai pelibatan penuh masyarakat dan jaminan keterwakilan dalam setiap proses (tahapan-tahapan) proyek, terutama dalam pengambilan keputusan proyek. Masyarakat diperlakukan sama dengan pengembang lain, berhak memiliki tenaga ahli yang dipercaya memberikan pertimbangan terhadap setiap proses kegiatan dan keputusannya harus dihargai.
Masyarakat juga mempunyai hak dan akses atas informasi yang lengkap baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, dampak hingga monitoring dan evaluasi proyek. Informasi harus tersampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami, tanpa mengurangi makna sebenarnya.
Mereka mendesak pengakuan dan penghargaan atas wilayah dan kawasan yang dikelola masyarakat secara turun temurun (adat), agar tetap menjadi wilayah kelola mereka. Lokasi proyek uji coba harus memiliki batas kawasan dan status hukum yang jelas, serta tidak mengurangi hak-hak dan akses masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam kawasan tersebut.
"Kami mendesak pengakuan atas kawasan itu agar menjadi wilayah kelola masyarakat. Lokasi pembangunan ekonomi rendah karbon juga harus punya batas kawasan yang jelas," ujar Yulin Wan, warga Desa Kaduwaa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, seperti dirilis media.
Perwakilan komunitas yang juga didukung berbagai lembaga swadaya masyarakat itu juga menuntut agar pelaksana proyek memiliki mekanisme penyelesaian konflik, proaktif dan tulus terlibat dalam penyelesaian konflik di masyarakat maupun dengan pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk penyelesaian konflik tata batas, tumpang tindih hak atas tanah dan konflik kewenangan.
Upaya penyelesaian konflik tidak boleh menggunakan alat negara, seperti Polri dan TNI, maupun preman atau alat kekerasan lainnya. Perlu ada wadah netral yang disepakati bersama oleh berbagai pihak dalam mengakomodir keberatan atau tuntutan masyarakat.
Masyarakat juga menyerukan agar proses menentukan manfaat proyek harus ditentukan oleh masyarakat, mencakup mekanisme maupun jenis manfaat. Karena itu, pengembangan komoditi untuk proyek pembangunan rendah karbon maupun proyek-proyek lainnya harus menjamin asas manfaat secara ekonomi dan sesuai dengan kearifan lokal.
Seruan ini diwakili Komunitas Adat Pekurehua, Kampung Kaduwaa, Kec. Lore Utara, Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Kemudian komunitas Dayak Ngaju di Desa Katunjung, Desa Mantangai Hulu, Kec. Mantangai, Kab. Kapuas, Komunitas Dayak Ngaju di Desa Parupuk, Desa Asem Kumbang, Desa Jahanjang, Desa Galinggang, Kec. Kamipang, Kab. Katingan. Juga Komunitas di Desa Palingkau dan Desa Ulak Batu, Kec. Danau Sembuluh, Kab. Seruyan, dan komunitas di Desa Gohong, Desa Bontoi, Desa Kalawa, Desa Mataren, Kec. Kahayan Hilir, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Masyarakat mendesak harus ada kepastian mengenai pelibatan penuh masyarakat dan jaminan keterwakilan dalam setiap proses (tahapan-tahapan) proyek, terutama dalam pengambilan keputusan proyek. Masyarakat diperlakukan sama dengan pengembang lain, berhak memiliki tenaga ahli yang dipercaya memberikan pertimbangan terhadap setiap proses kegiatan dan keputusannya harus dihargai.
Masyarakat juga mempunyai hak dan akses atas informasi yang lengkap baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, dampak hingga monitoring dan evaluasi proyek. Informasi harus tersampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami, tanpa mengurangi makna sebenarnya.
Mereka mendesak pengakuan dan penghargaan atas wilayah dan kawasan yang dikelola masyarakat secara turun temurun (adat), agar tetap menjadi wilayah kelola mereka. Lokasi proyek uji coba harus memiliki batas kawasan dan status hukum yang jelas, serta tidak mengurangi hak-hak dan akses masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam kawasan tersebut.
"Kami mendesak pengakuan atas kawasan itu agar menjadi wilayah kelola masyarakat. Lokasi pembangunan ekonomi rendah karbon juga harus punya batas kawasan yang jelas," ujar Yulin Wan, warga Desa Kaduwaa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, seperti dirilis media.
Perwakilan komunitas yang juga didukung berbagai lembaga swadaya masyarakat itu juga menuntut agar pelaksana proyek memiliki mekanisme penyelesaian konflik, proaktif dan tulus terlibat dalam penyelesaian konflik di masyarakat maupun dengan pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk penyelesaian konflik tata batas, tumpang tindih hak atas tanah dan konflik kewenangan.
Upaya penyelesaian konflik tidak boleh menggunakan alat negara, seperti Polri dan TNI, maupun preman atau alat kekerasan lainnya. Perlu ada wadah netral yang disepakati bersama oleh berbagai pihak dalam mengakomodir keberatan atau tuntutan masyarakat.
Masyarakat juga menyerukan agar proses menentukan manfaat proyek harus ditentukan oleh masyarakat, mencakup mekanisme maupun jenis manfaat. Karena itu, pengembangan komoditi untuk proyek pembangunan rendah karbon maupun proyek-proyek lainnya harus menjamin asas manfaat secara ekonomi dan sesuai dengan kearifan lokal.
Seruan ini diwakili Komunitas Adat Pekurehua, Kampung Kaduwaa, Kec. Lore Utara, Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Kemudian komunitas Dayak Ngaju di Desa Katunjung, Desa Mantangai Hulu, Kec. Mantangai, Kab. Kapuas, Komunitas Dayak Ngaju di Desa Parupuk, Desa Asem Kumbang, Desa Jahanjang, Desa Galinggang, Kec. Kamipang, Kab. Katingan. Juga Komunitas di Desa Palingkau dan Desa Ulak Batu, Kec. Danau Sembuluh, Kab. Seruyan, dan komunitas di Desa Gohong, Desa Bontoi, Desa Kalawa, Desa Mataren, Kec. Kahayan Hilir, Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar