Demi Kerukunan Warga, Operasi PT Munte Waniq Jaya Perkasa Harus Dihentikan
Bogor|Kotahujan.com- Jumat ini (28/10/2011), pukul 12.00 WITA, dilaporkan dua kelompok warga Dayak Benuaq nyaris bentrok terkait dengan pembebasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Konflik ini bermuara pada kawasan adat milik warga Muara Tae yang digusur paksa oleh PT Munte Waniq Jaya Perkasa, dengan buldozer-buldozer, dan dijaga oleh aparat keamanan setempat. Insiden ini telah mengusik rasa keadilan, untuk itu Perkumpulan Telapak mendesak pemerintah untuk menjaga kerukunan warga Dayak Benuaq dan mempertahankan hutan adat dengan menghentikan kegiatan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
Muara Tae adalah sebuah kampung yang terletak di Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sejak 1971 mereka terdesak dan terancam oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara. Sumber alam di Jempang telah dieksploitasi oleh PT Sumber Mas (1971-1975, 1983-1985, dan 1991-1992). PT London Sumatra sejak 2007, PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak 1996 dan PT Borneo Surya Mining Jaya masuk sejak 2010. Terakhir, salah satu perusahaan perkebunan yaitu PT Munte Waniq Jaya Perkasa telah menggusur paksa lahan warga.
Dalam rilis pers yang disampaikan perkumpulan Telapak menyebutkan. Penggusuran dilakukan setelah perusahaan tersebut membeli lahan sengketa seluas 638 hektar dari beberapa warga Desa Ponak. Sengketa terjadi antara dua komunitas Dayak Benuaq yang tinggal bersebelahan di dua desa yaitu Desa Muara Tae, Kecamatan Jempang dan Desa Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai.
Masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara telah menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial di kawasan adat Dayak Benuaq. Hingga saat ini, terdapat setidaknya lima perusahaan yang sedang dan akan beroperasi di kawasan adat Muara Tae.
“Hutan dan kebun kami habis, hubungan keluarga, kesepakatan dan persatuan pun terpecah-belah. Kini warga Dayak telah bersitegang dan diadu-domba satu sama lain,“ papar Petrus Asuy, tokoh masyarakat di Muara Tae.
Sementara itu Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan. Kesalahan penentuan batas-batas administrasi oleh pemerintah menjadi sumber konflik karena tidak menghormati sejarah dan tatanan adat yang masih berlaku.
"Dalam hal ini, kebijakan Bupati Kutai Barat tidak mempertimbangkan batas-batas alam yang sudah berlaku secara adat turun temurun,” ungkapnya.
Telapak mendesak pemerintah untuk menjaga kerukunan warga Dayak Benuaq yang kini terpecah-belah dengan hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Telapak mendukung penuh segala upaya masyarakat adat Dayak Benuaq dalam mempertahankan hutan dan kawasan adatnya.
“Penggusuran lahan secara paksa oleh PT Munte Waniq Jaya Perkasa telah menghancurkan hutan, melanggar hak asasi manusia dan tidak menghargai kedaulatan masyarakat adat. Penggusuran ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai Konvensi PBB tentang masyarakat adat. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menghentikan kegiatan PT Munte Waniq Jaya Perkasa,” beber Ambrosius Ruwindrijarto, ketua Telapak.
Pada tahun 2000, Telapak telah mengeluarkan laporan “Menanam Bencana” yang mengekspos ekspansi perkebunan sawit PT London Sumatra. Laporan tersebut merupakan bukti nyata perusakan kehidupan ekologis, budaya, dan sosial di Jempang, Muara Pahu, dan Bongan.
Konflik berkepanjangan soal tata-batas desa Muara Tae dengan Desa Lemponak terjadi sejak 1992. Warga Muara Tae telah menolak batas administrasi yang menurut mereka dimanipulasi dan akhirnya menjadi versi BPN tahun 2006.
Saat ini ada lima perusahaan yang sedang dan akan beroperasi di Muara Tae. Mereka adalah PT Gunung Bayan Pratama Coal, PT Borneo Surya Mining Jaya, PT London Sumatra TBK, PT Kencana Wisto, dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
Muara Tae adalah sebuah kampung yang terletak di Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sejak 1971 mereka terdesak dan terancam oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara. Sumber alam di Jempang telah dieksploitasi oleh PT Sumber Mas (1971-1975, 1983-1985, dan 1991-1992). PT London Sumatra sejak 2007, PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak 1996 dan PT Borneo Surya Mining Jaya masuk sejak 2010. Terakhir, salah satu perusahaan perkebunan yaitu PT Munte Waniq Jaya Perkasa telah menggusur paksa lahan warga.
Dalam rilis pers yang disampaikan perkumpulan Telapak menyebutkan. Penggusuran dilakukan setelah perusahaan tersebut membeli lahan sengketa seluas 638 hektar dari beberapa warga Desa Ponak. Sengketa terjadi antara dua komunitas Dayak Benuaq yang tinggal bersebelahan di dua desa yaitu Desa Muara Tae, Kecamatan Jempang dan Desa Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai.
Masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara telah menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial di kawasan adat Dayak Benuaq. Hingga saat ini, terdapat setidaknya lima perusahaan yang sedang dan akan beroperasi di kawasan adat Muara Tae.
“Hutan dan kebun kami habis, hubungan keluarga, kesepakatan dan persatuan pun terpecah-belah. Kini warga Dayak telah bersitegang dan diadu-domba satu sama lain,“ papar Petrus Asuy, tokoh masyarakat di Muara Tae.
Sementara itu Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan. Kesalahan penentuan batas-batas administrasi oleh pemerintah menjadi sumber konflik karena tidak menghormati sejarah dan tatanan adat yang masih berlaku.
"Dalam hal ini, kebijakan Bupati Kutai Barat tidak mempertimbangkan batas-batas alam yang sudah berlaku secara adat turun temurun,” ungkapnya.
Telapak mendesak pemerintah untuk menjaga kerukunan warga Dayak Benuaq yang kini terpecah-belah dengan hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Telapak mendukung penuh segala upaya masyarakat adat Dayak Benuaq dalam mempertahankan hutan dan kawasan adatnya.
“Penggusuran lahan secara paksa oleh PT Munte Waniq Jaya Perkasa telah menghancurkan hutan, melanggar hak asasi manusia dan tidak menghargai kedaulatan masyarakat adat. Penggusuran ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai Konvensi PBB tentang masyarakat adat. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menghentikan kegiatan PT Munte Waniq Jaya Perkasa,” beber Ambrosius Ruwindrijarto, ketua Telapak.
Pada tahun 2000, Telapak telah mengeluarkan laporan “Menanam Bencana” yang mengekspos ekspansi perkebunan sawit PT London Sumatra. Laporan tersebut merupakan bukti nyata perusakan kehidupan ekologis, budaya, dan sosial di Jempang, Muara Pahu, dan Bongan.
Konflik berkepanjangan soal tata-batas desa Muara Tae dengan Desa Lemponak terjadi sejak 1992. Warga Muara Tae telah menolak batas administrasi yang menurut mereka dimanipulasi dan akhirnya menjadi versi BPN tahun 2006.
Saat ini ada lima perusahaan yang sedang dan akan beroperasi di Muara Tae. Mereka adalah PT Gunung Bayan Pratama Coal, PT Borneo Surya Mining Jaya, PT London Sumatra TBK, PT Kencana Wisto, dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar