KLH : Konservasi Aliran Ciliwung dengan Sumur Resapan
Ciheuleut|Kotahujan.com-Mengatasi kondisi Ciliwung terkini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memiliki cara tersendiri. Dilaporkan mereka kini tengah fokus melakukan konservasi kondisi aliran sungai Ciliwung dengan membangun sumur-sumur resapan air. Tujuan sumur resapan ini agar air hujan yang jatuh tidak langsung mengalir ke sungai, melainkan tertampung di sumur resapan yang telah dibuat. Demikian diungkapkan Asisten Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat, Hermono Sigit, yang ditemui disela Kongres Lingkungan Sedunia di Universitas Pakuan Bogor, Selasa (18/10) lalu.
“Khusus Ciliwung sudah ada yang dilaksanakan,” tandasnya.
Penerapan ini diutamakan ke Ciliwung karena sungai yang berhulu di Bogor ini dampaknya terasa langsung ke ibu kota. Hermanto juga menuturkan selain Ciliwung, kegiatan serupa juga telah dilakukan di beberapa tempat. Peneapan sumur-sumur resapan ini juga berlaku di 11 DAS, 7 diantaranya berada di daerah Jawa. Diantaranya, Ciliwung, Cisadane, Kalibrantas, Citanduy, Bengawan Solo, Cimanuk dan Citarum.
Masalah aliran Ciliwung saat ini tak semata pada urusan konservasi air hujan. Pola perlindungan bantaran sungai dari pembangunan harusnya menjadi perhatian khusus. Belum lagi masalah sampah yang terus menjadi biang rusaknya ekologi sungai Ciliwung.
Pendapat berbeda diutarakan Hapsoro, pegiat lingkungan khususnya Ciliwung dengan Komunitas Peduli Ciliwung. Menurutnya selama ini pemerintah banyak menyalahkan warganya, padahal pemerintah sendiri tidak serius mengurusi sungai Ciliwung. Terbukti tidak ada lembaga yang secara khusus mengurus bantaran sungai dan sampah yang ada di sungai Ciliwung, apalagi peraturan perlindungan berikut penerapannya.
“Untuk di kota Bogor saja sampah di sungai Ciliwung tidak ada yang mau mengurusi,” ungkap Hapsoro.
Koordinasi yang kurang baik di antara pihak-pihak yang berkepentingan membuat semakin sulitnya mengembalikan kebersihan aliran sungai. Dalam kesempatan berbeda, Rektor Universitas Diponegoro yang juga pengamat lingkungan hidup, Sudharto P. Hadi menyampaikan. Perlu segera dilakukan pemetaan wilayah di sepanjang aliran sungai. Hal ini dimaksudkan agar pembagian tugas dan kerja di setiap wilayah bisa terukur dan maksimal.
Selama ini menurut Sudharto ada ketidakjelasan koordinasi antara pemerintah daerah di hulu sungai hingga di hilir sungai. Ia menduga ego sektoral kedaerahan yang terlalu kuat menjadi kendala koordinasi.
Laporan Kontributor : R Maeilana, Anggit Saranta
“Khusus Ciliwung sudah ada yang dilaksanakan,” tandasnya.
Penerapan ini diutamakan ke Ciliwung karena sungai yang berhulu di Bogor ini dampaknya terasa langsung ke ibu kota. Hermanto juga menuturkan selain Ciliwung, kegiatan serupa juga telah dilakukan di beberapa tempat. Peneapan sumur-sumur resapan ini juga berlaku di 11 DAS, 7 diantaranya berada di daerah Jawa. Diantaranya, Ciliwung, Cisadane, Kalibrantas, Citanduy, Bengawan Solo, Cimanuk dan Citarum.
Masalah aliran Ciliwung saat ini tak semata pada urusan konservasi air hujan. Pola perlindungan bantaran sungai dari pembangunan harusnya menjadi perhatian khusus. Belum lagi masalah sampah yang terus menjadi biang rusaknya ekologi sungai Ciliwung.
Pendapat berbeda diutarakan Hapsoro, pegiat lingkungan khususnya Ciliwung dengan Komunitas Peduli Ciliwung. Menurutnya selama ini pemerintah banyak menyalahkan warganya, padahal pemerintah sendiri tidak serius mengurusi sungai Ciliwung. Terbukti tidak ada lembaga yang secara khusus mengurus bantaran sungai dan sampah yang ada di sungai Ciliwung, apalagi peraturan perlindungan berikut penerapannya.
“Untuk di kota Bogor saja sampah di sungai Ciliwung tidak ada yang mau mengurusi,” ungkap Hapsoro.
Koordinasi yang kurang baik di antara pihak-pihak yang berkepentingan membuat semakin sulitnya mengembalikan kebersihan aliran sungai. Dalam kesempatan berbeda, Rektor Universitas Diponegoro yang juga pengamat lingkungan hidup, Sudharto P. Hadi menyampaikan. Perlu segera dilakukan pemetaan wilayah di sepanjang aliran sungai. Hal ini dimaksudkan agar pembagian tugas dan kerja di setiap wilayah bisa terukur dan maksimal.
Selama ini menurut Sudharto ada ketidakjelasan koordinasi antara pemerintah daerah di hulu sungai hingga di hilir sungai. Ia menduga ego sektoral kedaerahan yang terlalu kuat menjadi kendala koordinasi.
Laporan Kontributor : R Maeilana, Anggit Saranta
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar