'Papeda' dan Efektifitas Belajar Pemberdayaan Hutan
Yapen|Kotahujan.com-Pada awal Oktober lalu Telapak dan Samdhana melakukan proses pendidikan kader kehutanan di Papua. Kegiatan ini menjadi bagian progam kerja penyadaran pengelolaan hutan yang lestari. Selama beberapa hari mereka berada di Kampung Asai, berproses bersama 33 warga dari Kampung Papuma, Kampung Windesi, dan Kampung Aisau. Berkumpul belajar bersama bagaimana mengelola kawasan hutan sesuai dengan konsep pengeloaan hutan lestari berdasarkan kearifan lokal. Berikut catatan kontributor Sandika Ariansyah (TELAPAK) pada Kotahujan.com.
Tak terasa sesi pembelajaran harus segera berakhir. Harapan masyarakat segera bisa mengelola hutannya dengan lestari kembali muncul. Tingginya minat belajar warga Yapen membawa dampak cukup positif. Hasil belajar ini bisa menjadi bekal awal saat proses pelaksanaan pemberdayaan hutan bersama masyarakat atau Community Logging (Comlog) di wilayah masing-masing. Catatan penilaian cepat (rapid assessment) kami saat sesi terakhir menunjukan hal yang luar biasa. Lebih dari 60% peserta menjawab mengerti dan cukup memahami semua materi yang sudah disampaikan. Hampir seluruh peserta merasa senang dan bahagia karena metode pembelajaran membuat mereka termotivasi untuk mau belajar. Mereka pun memiliki komitmen yang tinggi, karena dari awal sampai akhir kegiatan jumlah peserta tidak berkurang 1 orang pun.
Ternyata hasil yang luar biasa tersebut, tidak hanya dihasilkan dari metode belajar yang efektif dan efisien melainkan ada rahasia sukses dibalik itu semua. Rahasia itu bernama “papeda”, makanan khas masyarakat papua yang terbuat dari sagu. Hampir setiap hari papeda disajikan pada siang hari untuk menambah supply energy dan semangat dalam belajar. Hal ini bukan gossip maupun isapan jempol semata, melainkan sebuah kenyataan yang berdampak positif untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Selain papeda, ibu-ibu di dapur dengan sigap menyajikan aneka masakan yang sehat dan bergizi serta pas di lidah semua orang untuk disantap secara bersama. Semua bahan baku makanan berasal dari potensi sumberdaya alam di sekitar Kampung Asai.
Selain materi yang disampaikan, peserta juga diberikan beberapa PR (tugas) diantaranya, 1) mengindetifikasi potensi dari masing-masing wilayah, kemudian mempresentasikannya kepada peserta yang lain. 2) membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL). Penugasan yang diberikan merupakan tindak lanjut dari proses yang sudah diajarkan selama beberapa hari. Bentuk dari penugasan harus berhubungan dengan proses pembelajaran dan materi yang sudah diajarkan, dibuat berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan bersama di masing-masing wilayah.
Lamanya proses penugasan sekitar 3-4 bulan, dilaksanakan berdasarkan inisiatif, komitmen dan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu keadilan ekologi dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pada fase penugasan, proses monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan secara bertahap dengan melibatkan peran para pihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi sebagai “management authority” kawasan serta para pihak lainnya. Kegiatan berikutnya akan dilanjutkan setelah melihat hasil dari monev tersebut
Tak terasa sesi pembelajaran harus segera berakhir. Harapan masyarakat segera bisa mengelola hutannya dengan lestari kembali muncul. Tingginya minat belajar warga Yapen membawa dampak cukup positif. Hasil belajar ini bisa menjadi bekal awal saat proses pelaksanaan pemberdayaan hutan bersama masyarakat atau Community Logging (Comlog) di wilayah masing-masing. Catatan penilaian cepat (rapid assessment) kami saat sesi terakhir menunjukan hal yang luar biasa. Lebih dari 60% peserta menjawab mengerti dan cukup memahami semua materi yang sudah disampaikan. Hampir seluruh peserta merasa senang dan bahagia karena metode pembelajaran membuat mereka termotivasi untuk mau belajar. Mereka pun memiliki komitmen yang tinggi, karena dari awal sampai akhir kegiatan jumlah peserta tidak berkurang 1 orang pun.
Ternyata hasil yang luar biasa tersebut, tidak hanya dihasilkan dari metode belajar yang efektif dan efisien melainkan ada rahasia sukses dibalik itu semua. Rahasia itu bernama “papeda”, makanan khas masyarakat papua yang terbuat dari sagu. Hampir setiap hari papeda disajikan pada siang hari untuk menambah supply energy dan semangat dalam belajar. Hal ini bukan gossip maupun isapan jempol semata, melainkan sebuah kenyataan yang berdampak positif untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Selain papeda, ibu-ibu di dapur dengan sigap menyajikan aneka masakan yang sehat dan bergizi serta pas di lidah semua orang untuk disantap secara bersama. Semua bahan baku makanan berasal dari potensi sumberdaya alam di sekitar Kampung Asai.
Selain materi yang disampaikan, peserta juga diberikan beberapa PR (tugas) diantaranya, 1) mengindetifikasi potensi dari masing-masing wilayah, kemudian mempresentasikannya kepada peserta yang lain. 2) membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL). Penugasan yang diberikan merupakan tindak lanjut dari proses yang sudah diajarkan selama beberapa hari. Bentuk dari penugasan harus berhubungan dengan proses pembelajaran dan materi yang sudah diajarkan, dibuat berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan bersama di masing-masing wilayah.
Lamanya proses penugasan sekitar 3-4 bulan, dilaksanakan berdasarkan inisiatif, komitmen dan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu keadilan ekologi dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pada fase penugasan, proses monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan secara bertahap dengan melibatkan peran para pihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi sebagai “management authority” kawasan serta para pihak lainnya. Kegiatan berikutnya akan dilanjutkan setelah melihat hasil dari monev tersebut
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar