Dominikus Uyub : Meneguhkan Budaya Dayak yang Seharusnya
Dominikus Uyub, biasa dipanggi Uyub. Lahir di komunitas suku dayak kayaan di kabupaten Kapuas Hulu di hulu Kapuas propinsi Kalimantan barat. Masa kecilnya dihabiskan dengan berhadapan langsung kehidupan kebudayaan yang masih kental. Disana pulalah ia banyak memahami dan mengerti tentang bagaimana kebudayaan itu yang sesungguhnya yang mestinya sampai hari ini dipertahankan. Pengalaman langsung bersentuhan dengan kebudayaan diperoleh langsung dari Ayahnya, tarian dan musik sape kemudian menarik minatnya untuk menggeluti.
“Saya tergiur dengan kesenian misalnya seperti musik tradisional, musik petik yang disebut Sape. Tari-tarian tradisi dan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Masa kecil saya banyak bergaul dengan kehidupan-kehidupan tradisional itu.” tutur Uyub pada suatu kesempatan.
Kecintaan budaya peninggalan leluhur, telah membuat seorang Dominikus Uyub tekun menggeluti budaya dayak khususnya dayak Kayaan di Kapuas Hulu. Pengalaman masa kecil berkesenian di komunitas Dayak Kayaan Dusun Pagung, Desa Datah Diaan, kecamatan Putussibau Selatan. Mempengaruhi kepribadian Uyub saat dewasa. Pandangan hidup, ideologi dan semangat untuk mempertahankan budaya dayak di Kalimantan Barat ia pegang teguh
Sejak usia 7 tahun Uyub telah menjadi salah satu pemain “Sape” di wilayah Kalbar, ia memainkan ragam Dayak Kayaan, baik secara sendiri maupun bersama kelompok sanggarnya. Berbagai pementasan di sekitar Pontianak, Kalbar hingga luar daerah sudah dilakoninya.
Dibandingkan dengan 36 tahun yang lalu, kondisi pergerakan budaya di Kalimantan Barat khususnya drastis sangat jauh berbeda, hampir semua daerah di Kalbar ia kunjungi nyaris meninggalkan tradisi mereka, meninggalkan kearifan-kearifan lokal mereka.
“Memperkenalkan kebudayaan kemudian mempertahankan kebudayaan yang ada khususnya Dayak itu tidak cukup dengan pementasan atau dengan penyelenggaraan kesenian yang biasa dilakukan. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang kebudayaan dayak itu sendiri. Karena dayak itu tidak satu, dayak itu banyak sub suku-nya,”
Rasa prihatin itu kemudian ia wujudkan dengan tekun berkesenian bersama sanggar yang dibentuknya dan membagi pengetahuan kepada orang Dayak lain tentang identitas budaya yang seharusnya. Kegelisahannya atas budaya dayak yang disampaikan tak utuh telah menggerakkan tekadnya untuk memberi pemahaman kepada masyarakat lebih mendalam. Jiwa kesenimanannya tak cukup hanya dengan bermain musik, pilihan menuangkan gagasan pun ia wujudkan melalui tulisan-tulisan di Kalimantan Review (KR). Kalimantan Review dalam perjalanannya kemudian menjadi media Institut Dayakologi yang direferensi banyak orang.
Hal inilah yang kemudian membawanya pada prestasi sebagai penerima ASTEKI Award untuk kategori Pengembangan Budaya dan Resolusi damai Melalui Media. ASTEKI Award merupakan bentuk apresiasi yang diberikan Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia, terhadap individu maupun kelompok masyarakat yang telah bekerja untuk memanfaatkan media dan teknologinya dengan cara-cara kreatif, dengan segala keterbatasannya, menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Uyub dinilai layak menerima sebagai bentuk apresiasi ASTEKI terhadap warga masyarakat yang telah berdedikasi untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan budaya luhur tradisi serta membangun semangat resolusi damai (peace journalism) melalui aktivitas jurnalistik media.
“Rasa-rasanya tak percaya kalau ASTEKI memberi penghargaan pada diri saya. Saya merasa apa yang saya lakukan selama ini rupanya sudah diketahui dan diapresiasi teman-teman ASTEKI,”paparnya.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar