Forest Festival 2011 dan Perusakan Hutan yang Terus Terjadi
Jakarta|kotahujan.com-Tahun 2011 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menetapkannya sebagai Tahun Hutan Internasional. Sayangnya informasi Penetapan Tahun Hutan ini kurang terasa gaungnya. Terbukti masih terus terjadi penyempitan luasan hutan akibat konversi lahan menjadi perkebunan dan tambang. Kondisi ini membuat beberapa aktivis yang tergabung dalam perkumpulan Telapak menggelar serangkaian kegiatan Forest Festival 2011 di Ruang Yusuf Ronodipuro, Gedung RRI, Jalan Merdeka Barat no 4-5, Jakarta, sejak Jumat (25/11) hingga Minggu (27/11).
Forest Festival 2011 dimaksudkan sebagai wadah sosialisasi mengenai kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Telapak dari tahun 1997 hingga kini. Pada kegiatan ini mereka juga melaporkan temuan terakhir keadaan hutan Indonesia khususnya hutan adat di Muara Tae Kalimantan Timur. Laporan dalam bentuk film itu menuturkan tentang kehancuran hutan adat Dayak Benuaq yang di sebabkan oleh kepentingan perusahaan HPH, HTI, kebun kelapa sawit, dan tambang batubara.
Dalam kutipan laopran yang dirilis Jumat kemarin, meski diambang batas kehancuran masyarakat adat Muara Tae terus berupaya keras untuk menjaga sisa hutan yang ada dari oknum-oknum perambah hutan adat. Demi menjaga huatan adat mereka, masyarakat Muara Tae membangun pondok-poondok jaga di dalam serta menyiapkan pembibitan jenis-jenis pohon lokal untuk memperbaiki areal-areal yang dulunya berupa hutan.
“Kami membuat pondok jaga agar perusahaan tidak masuk dan merusak wilayah hutan kami. Kami tidak mau pengalaman buruk masa lalu menimpa kami. Sudah banyak tanah kami yang diambil perusahaan tambang batubara dan perusahaan sawit,” kata Petrus Asuy, warga Muara Tae yang memberi kesaksian langsung.
Perkumpulan Telapak mendukung penuh atas kegigihan masyarakat Muara Tae. Telapak percaya masyarakat adat merupakan korban. Seharusnya mereka menjadi penerima manfaat utama atas kekayaan alamnya.
“Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit sudah waktunya dihentikan beroperasi, karena telah mengabaikan kepentingan perlindungan hutan dan kehidupan masyarakat adat di Muara Tae”, tegas Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak.
Selain peluncuran film kondisi hutan adat di Muara Tae, Forest Fest 2011 juga mempublikasikan foto-foto hasil investigasi tim Telapak tentang perusakan hutan Muara Tae. Dari foto-foto ini terlihat, bagaimana kondisi masyarakat adat di Muara Tae, hutan mereka yang tersesisa, kekejaman peng-eksplorasi hutan adat Dayak Benuaq secara besar-besaran.
Turut pula dipublikasikan film-film yang telah dilakukan Telapak dan Gekko Studio terkait dengan hutan Indonesia, sejak tahun 1997 saat ini.
Forest Festival 2011 dimaksudkan sebagai wadah sosialisasi mengenai kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Telapak dari tahun 1997 hingga kini. Pada kegiatan ini mereka juga melaporkan temuan terakhir keadaan hutan Indonesia khususnya hutan adat di Muara Tae Kalimantan Timur. Laporan dalam bentuk film itu menuturkan tentang kehancuran hutan adat Dayak Benuaq yang di sebabkan oleh kepentingan perusahaan HPH, HTI, kebun kelapa sawit, dan tambang batubara.
Dalam kutipan laopran yang dirilis Jumat kemarin, meski diambang batas kehancuran masyarakat adat Muara Tae terus berupaya keras untuk menjaga sisa hutan yang ada dari oknum-oknum perambah hutan adat. Demi menjaga huatan adat mereka, masyarakat Muara Tae membangun pondok-poondok jaga di dalam serta menyiapkan pembibitan jenis-jenis pohon lokal untuk memperbaiki areal-areal yang dulunya berupa hutan.
“Kami membuat pondok jaga agar perusahaan tidak masuk dan merusak wilayah hutan kami. Kami tidak mau pengalaman buruk masa lalu menimpa kami. Sudah banyak tanah kami yang diambil perusahaan tambang batubara dan perusahaan sawit,” kata Petrus Asuy, warga Muara Tae yang memberi kesaksian langsung.
Perkumpulan Telapak mendukung penuh atas kegigihan masyarakat Muara Tae. Telapak percaya masyarakat adat merupakan korban. Seharusnya mereka menjadi penerima manfaat utama atas kekayaan alamnya.
“Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit sudah waktunya dihentikan beroperasi, karena telah mengabaikan kepentingan perlindungan hutan dan kehidupan masyarakat adat di Muara Tae”, tegas Abu Meridian, Juru Kampanye Hutan Telapak.
Selain peluncuran film kondisi hutan adat di Muara Tae, Forest Fest 2011 juga mempublikasikan foto-foto hasil investigasi tim Telapak tentang perusakan hutan Muara Tae. Dari foto-foto ini terlihat, bagaimana kondisi masyarakat adat di Muara Tae, hutan mereka yang tersesisa, kekejaman peng-eksplorasi hutan adat Dayak Benuaq secara besar-besaran.
Turut pula dipublikasikan film-film yang telah dilakukan Telapak dan Gekko Studio terkait dengan hutan Indonesia, sejak tahun 1997 saat ini.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar