Asing di Tanah Adat Sendiri
Ciptagelar | Kotahujan.com - Masalah pengakuan keberadaan masyarakat adat dengan segenap hak-haknya masih mengemuka dan menjadi bahan perbincangan menarik dalam dialog interaktif Masyarakat Kesatuan Adat Banten Kidul, AMAN dan KLH di Kasepuhan Ciptagelar sabtu (31/7) lalu. Sekjen AMAN Abdon Nababan mengungkapkan bahwa masyarakat adat hidup dengan mewarisi nilai-nilai luhur dari leluhurnya, dimana mereka sudah sangat akrab dengan alam. Mereka sudah arif secara lingkungan karena menjadi bagian dari alam itu. Masyarakat adat juga memiliki sistem tata ruang, dimana ada kawasan larangan, kawasan tutupan dan titipan. Imasyarakat adatlah yang menanam dan merawat hutan-hutannya. Namun sejak adanya penguasaan hutan oleh pemerintah posisi masyarakat adat tidak senyaman dulu.
Kondisi inilah menurut Abdon yang akhirnya membuat masyarakat adat melakukan perlawanan menuntut haknya. Yaitu hak atas wilayah adat, hak untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai kelembagaan adat, hak mempertahankan jati diri, identitas budaya, kepercayaan. Sebenarnya secara konstitusi ada pasal UU yang mengakui peran masyarakat adat. Yaitu pasal 18b ayat 2 dan pasal 28i ayat 3. Negara yang umumnya berlandaskan pasal 33 UUD untuk penguasaan hutan, dengan adanya 2 pasal tersebut jadi tidak mutlak. Belum lagi ditingkat internasional ada peraturan yang juga melindungi masyarakat adat, yaitu konvensi ILO no 69, deklarasi PBB. Meski sudah ada konstitusi yang mengakui keberadaan masyarakat adat, dalam prakteknya sehari-hari hak-hak mereka tetap dirampas dan tidak dihargai.
Akibatnya terjadi pemiskinan di masyarakat adat, setelah terjadi perampasan ketika masyarakat meminta haknya kembali, mereka dihadapkan pada kekuatan yang pada akhirnya terjadi pelanggaran HAM. Ironisnya masyarakat yang mengambil hasil hutannya justru dituduh mencuri dan dipenjara. AMAN mencatat dalam tiga tahun terakhir ada 500 aktivis masyarakat adat yang masuk penjara karena dituduh mencuri di wilayah adatnya sendiri.
Masalah yang lain ketika terjadi kerusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan HPH, masyarakat adatlah yang menanggung akibat dampak lingkungannya. Kawasan hutan yang tadinya kawasan adat, dikuasai menjadi kawasan negara yang penguasaannya diserahkan kepada pihak ketiga. Akibatnya masyarakat adat menjadi asing ditanahnya sendiri.
Kondisi inilah menurut Abdon yang akhirnya membuat masyarakat adat melakukan perlawanan menuntut haknya. Yaitu hak atas wilayah adat, hak untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai kelembagaan adat, hak mempertahankan jati diri, identitas budaya, kepercayaan. Sebenarnya secara konstitusi ada pasal UU yang mengakui peran masyarakat adat. Yaitu pasal 18b ayat 2 dan pasal 28i ayat 3. Negara yang umumnya berlandaskan pasal 33 UUD untuk penguasaan hutan, dengan adanya 2 pasal tersebut jadi tidak mutlak. Belum lagi ditingkat internasional ada peraturan yang juga melindungi masyarakat adat, yaitu konvensi ILO no 69, deklarasi PBB. Meski sudah ada konstitusi yang mengakui keberadaan masyarakat adat, dalam prakteknya sehari-hari hak-hak mereka tetap dirampas dan tidak dihargai.
Akibatnya terjadi pemiskinan di masyarakat adat, setelah terjadi perampasan ketika masyarakat meminta haknya kembali, mereka dihadapkan pada kekuatan yang pada akhirnya terjadi pelanggaran HAM. Ironisnya masyarakat yang mengambil hasil hutannya justru dituduh mencuri dan dipenjara. AMAN mencatat dalam tiga tahun terakhir ada 500 aktivis masyarakat adat yang masuk penjara karena dituduh mencuri di wilayah adatnya sendiri.
Masalah yang lain ketika terjadi kerusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan HPH, masyarakat adatlah yang menanggung akibat dampak lingkungannya. Kawasan hutan yang tadinya kawasan adat, dikuasai menjadi kawasan negara yang penguasaannya diserahkan kepada pihak ketiga. Akibatnya masyarakat adat menjadi asing ditanahnya sendiri.
Tautan halaman ini.
0 komentar:
Posting Komentar